unjuk
rasa atau demonstrasi ("demo") merupakan sebuah gerakan protes yang
dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk
menyatakan pendapat kelompok
tersebut atau penentang kebijakan
yang dilaksanakan suatu pihak, atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya
penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok.
Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa dan orang-orang yang
tidak setuju dengan pemerintah, dan yang menentang kebijakan pemerintah. Namun
unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya. (source:
wikipedia)
source: tirto.id |
Hari selasa, tepatnya tanggal 24 September kemarin, terjadi unjuk rasa yang
dilakukan oleh ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan buruh tani
serta oknum-oknum lain. Ribuan mahasiswa ini terlihat memenuhi jalan di depan
gedung DPR selasa kemarin, menuntut dewan pimpinan menemui mereka. Namun,
kericuhan mulai terjadi saat polisi menyemprotkan water cannon dan
menembakkan gas air mata, yang berakhir bentrok massa dengan polisi, yang berlangsung
hingga selasa malam.
Hal yang memicu adanya unjuk rasa ini dikarenakan revisi UU KPK dan RUU
KUHP yang ditunda untuk disahkan. Menurut beberapa pihak, RUU KUHP berisi
pasal-pasal yang dinilai tidak masuk akal. beberapa RUU bermasalah ini lantas
memicu aksi demo mahasiswa di sejumlah daerah.
Revisi UU KPK telah disahkan DPR. Sedangkan RUU KUHP dan RUU
permasyarakatan semula akan disahkan pada Selasa. Namun, DPR RI memutuskan
menunda pengesahan dua RUU itu setelah ada usulan dari Presiden Joko Widodo. (source:
tirto.id)
15 September lalu, pemerintah dan DPR merampungkan pembahasan tentang RUU
KUHP di hotel Fairmont, Jakarta. Aliansi Nasional Reformasi KUHP (koalisi 40
LSM) menilai pembahasan itu dilakukan secara ‘diam-diam’ dan menghasilkan draf
yang memuat sejumlah masalah. Namun, politikus PPP dan anggota Panja RKUHP
Arsul Sani membantah rapat itu digelar secara diam-diam. Sebaliknya Direktur
Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan “RUU KUHP
dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus
ditunda.”
Pasal-pasal kontroversial di RUU KUHP yang dinilai bermasalah dan memicu
aksi unjuk rasa sejumlah mahasiswa di berbagai daerah, berisikan pasal-pasal
yang dinilai tidak masuk akal. Banyak dari mereka yang berunjuk rasa dengan
membawa kertas bertuliskan pendapat-pendapat mereka atas ketidak masuk
akalannya pasal tersebut.
source: grafis.tempo.com |
Salah satunya adalah pasal RUU KUHP tentang Korupsi, pasal ini memuat
hukuman bagi pelaku korupsi yang dinilai lebih rendah daripada UU Tipikor.
- · pasal 603 RUU KUHP mengatur pelaku korupsi
dihukum seumur hidup atau paling sedikit 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun.
- · Pasal 604 RUU KUHP mengatur hukuman sama
persis bagi pelaku penyalahgunaan wewenang untuk korupsi. Lalu,
- · Pasal 605 mengatur hukuman ke pemberi suap minimal 1 tahun bui dan maksimal 5 tahun. Dan juga mengancam PNS dan penyelenggara negara penerima suap dengan penjara minimal 1 tahun, serta maksimal 6 tahun.
Sedangkan UU Tipikor berisikan,
- · pasal 2 UU Tipikor, mengatur hukuman bagi
pelaku korupsi ialah pidana seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan
maksimal 20 tahun.
- · pasal 5 UU Tipikor memang memuat aturan
hukuman bagi pemberi suap mirip dengan pasal 605 RUU KUHP. Akan tetapi,
- ·
pasal 6 UU Tipikor mengatur hukuman lebih
berat bagi penyuap hakim, yakni 3-15 tahun bui. Bahkan,
- · Pasal 12 UU Tipikor huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim penerima suap: pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun.
Pasal ini dinilai bertentangan dengan UU Tipikor yang sudah ada dan
menurunkan masa hukuman dari UU Tipikor itu sendiri. Hal ini membuat para
rakyat berpikir hukum memihak pada orang-orang ‘berdasi’ yang bersalah dan
memicu sejumlah aksi unjuk rasa itu sendiri.
Terbukti dari adanya RUU KUHP tentang gelandangan yang memuat pasal
memberatkan bagi gelandangan itu sendiri, dan juga menjadi salah satu pasal
yang di tanda tanyain oleh sebagian besar pengunjuk rasa kemarin. Pasal 431
mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp.1 juta. Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu mendesak penghapusan
pasal ini sebab ia warisan kolonial yang menilai gelandangan sebagai: Orang
tidak berguna akibat kesalahan dalam hidupnya. Adapun Peneliti hukum Mappi FH
UI Andreas Marbun menilai pasal ini bukan solusi atas masalah gelandangan,
sekaligus aneh.
Mendenda bukanlah solusi atas masalah gelandangan itu
sendiri. Menjadi gelandangan bukanlah keinginan mereka. Mereka hanya
orang-orang yang tidak beruntung dan korban dari akibat kesalahan dalam
hidupnya. Jika dilihat dari awal kejadian ini bermula, mereka menjadi
gelandangan karena tidak memiliki pekerjaan tetap dan mapan. Lalu, mereka tidak
memiliki pekerjaan karena faktor dari kurangnya lapangan pekerjaan dan
kurangnya pendidikan, mereka kalah dari orang-orang ‘berdasi’ yang mendapatkan
jenjang pendidikan lebih tinggi. Kurangnya pendidikan kembali lagi karena
masalah uang, nyatanya bersekolah di negeri ini masih membutuhkan uang. Walau pemerintah
memberikan beasiswa atau kursi-kursi di sekolah negeri khusus bagi mereka yang
tidak mampu dalam hal biaya, tetap saja, masih banyak anak di negeri ini yang
kurang dalam hal pendidikan. Karena terkadang beasiswa dan kursi itu salah
sasaran. Ini merupakan faktor terjadinya banyak gelandangan itu sendiri.
Denda bukanlah solusi yang tepat, terlalu berat bagi mereka.
Mengapa tidak benahi dulu, baru membuat peraturan seperti ini? Benahi, mengapa
banyak orang menjadi gelandangan, mirisnya pemerintah menutup mata atas masalah
gelandangan itu sendiri.
Lain halnya dengan orang-orang ‘berdasi’ yang tidak pernah
bersyukur, yang selalu tidak pernah merasa cukup dengan mengambil uang yang
seharusnya bukan miliknya. Dengan adanya UU Tipikor pasal 2 yang menjatuhkan
hukuman bagi pelaku korupsi dengan penjara minimal 4 tahun saja masih banyak
orang berdasi yang tidak jera melakukannya, lalu bagaimana jika hanya penjara
minimal 2 tahun? KPK pasti akan repot didatangi terus menerus oleh ‘mereka.’
Lagipula 2 tahun termasuk singkat, bisa-bisa keluar dari penjara, duit gelandangan
pun diambil.
Maka dari itu, hukum dinilai memihak kaum berdasi karena
dirasa para pelaku korupsi diringankan sedangkan para gelandangan diberatkan.
Dan lagi kalau membahas tentang sengaja dan ketidak sengajaan, bukankah para
kaum berdasi harus mendapat hukum lebih berat karena mereka sengaja? Para
gelandangan hanyalah gelandangan, tidak ada orang di negeri ini, bahkan di
dunia ini yang memiliki niat untuk menjadi gelandangan. Memang, mungkin 1 juta
bukanlah apa-apa bagi kita yang memiliki duit (termasuk ringan), tapi ini
gelandangan. Sekali lagi, ini gelandangan, ibarat kalau memang mereka mampu
untuk membayar denda, mengapa mereka disebut gelandangan? Bukankah gelandangan,
maaf kata, orang yang meminta-minta diberikan uang untuk menghidupi mereka?
"Lagipula gelandangan, kan, miskin, mana sanggup mereka bayar denda. Kalau
enggak mampu, terus gimana?" Kata Andreas selaku Peneliti Hukum Mappi FH
UI. Walau mungkin memang, beberapa gelandangan yang mengemis di jalan, jika
dihitung berapa yang mereka dapatkan per-hari sempat membuat tercengang. Jika
setiap kali orang lewat memberikan mereka Rp.2000, berapa banyak orang lewat
dalam sehari? Tetapi, tidak semua gelandangan mendapatkan hari seperti itu kan?
Belum tentu orang yang lewat memberikan mereka uang, belum lagi kalau mereka
hanya di caci maki, lagi pula dilihat dari sisi mereka, meminta bukanlah masa
depan yang mereka inginkan. Mungkin saja, jika mereka mendapat pilihan untuk
menghidupi dirinya dengan hasil jerih payah sendiri, pasti itu yang mereka pilih.
Ini termasuk hukuman berat bagi mereka, tidak pantas dengan kejahatan yang
mereka lakukan. Sedangkan koruptor, hukuman minimal 2 tahun penjara termasuk
ringan untuk kejahatan yang dengan niat mereka lakukan. Bukankah tidak adil?
Berbicara suap, siapa yang salah? Yang menyuap atau yang
disuap?
Dalam RUU KUHP pasal 605 yang berisikan hukuman untuk pemberi
suap minimal 1 tahun bui dan para pegawai PNS dan para penyelenggara negara
yang menerima suap diancam penjara minimal 1 tahun. Sedangkan dalam UU Tipikor
pasal 12, berisi hukuman bagi hakim dan pejabat negara yang menerima suap,
pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun. Dilihat dari masa hukuman, RUU
KUHP bertentangan dengan UU Tipikor itu sendiri, dinilai lebih diringankan bagi
para penyelenggara negara. Yang berbeda hanyalah tambahan bagi pemberi suap
diberi hukuman minimal 1 tahun bui. Pro dan kontra terjadi untuk pasal yang
satu ini, pro atas pemberi suap diberi hukuman dan kontra akan diringankannya
hukuman bagi penyelenggara negara yang menerima suap.
Pemberi suap jelas salah, karena para pemberi suap
"memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk
membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum"(source: wikipedia).
Oleh karena itu, diberikannya hukuman adalah tindakan yang
benar, bagaimanapun juga mereka para pemberi suap mengganggu jalannya sebuah
tugas dan kewenangan atau kewajiban seseorang yang menyangkut kepentingan umum.
Begitupun dengan penerima suap, mereka juga salah. Mungkin
memang pada awalnya mereka tidak ada niat untuk melakukan hal yang bertentangan
dengan tugas dan kewajibannya, tetapi pada akhirnya mereka terbujuk rayuan
dengan embel-embel materi atau janji yang diberikan oleh pemberi suap, yang
tetap saja dinilai sebagai sebuah kesalahan.
Dengan diringankan hukuman bagi penerima suap menjadi 1
tahun, tidak merubah apapun. Dengan hukuman penjara 4-20 tahun saja, masih
banyak yang berani untuk menerima suap itu, bagaimana jika hanya minimal 1
tahun penjara?
Menerima suap hanyalah tindakan kecil yang tidak kelihatan
jika terus bungkam, tetapi jika dilihat lebih dalam mengenai akibat dan
faktanya, tindakan ini menjadi sangat besar. Hal yang seharusnya didapat orang yang memang mendapatkannya, menjadi milik
orang lain yang memiliki uang berlebih. Akibatnya yang memiliki uang menjadi
segalanya dan yang hanya mengandalkan kemampuan menjadi kecil. Hukum itu adil,
tetapi jika kejadian seperti ini, apa bisa disebut adil? Hukuman 4-20 tahun
penjara tidak harus diringankan menjadi 1 tahun untuk tindakan seperti ini.
Jika melihat penerima suap itu bersalah, lalu bagaimana
dengan si pemberi suap?
Pemberi suap hanyalah orang yang mementingkan dirinya
sendiri. Uang adalah segalanya bagi mereka, ada uang, maka semua hal yang
diinginkan akan terwujud di depan mata mereka. Itu benar. Tidak sepenuhnya
salah. Nyatanya di dunia ini memang begitu, uang bisa mewujudkan segalanya.
Tapi sebenarnya, jika dilihat, fakta ini lahir dari kasus penyuapan itu
sendiri. Jika kasus penyuapan tidak ada, tidak banyak orang yang mengakui kalau
uang itu segalanya. Si pemberi suap tetaplah menjadi pemberi suap seberapa banyak
hukuman dijatuhkan, mereka akan tetap menjadi si pemberi suap. Bahkan saat
hukuman itu dijatuhkan pun mereka bisa menjadi si pemberi suap. Tetapi, dalam
hal ini, pemberi suap pun tetap salah.
Memang, yang harus diberantas adalah si penerima suap. Jika
mereka, penerima suap, memang sudah terdoktrin untuk tidak menerima suap, maka
dengan otomatis, perlahan-lahan pemberi suap pun menghilang. Bayangkan jika
pemberi suap tidak berhasil menjalankan aksinya, maka hal yang memang
seharusnya didapati oleh orang yang mendapatkannya akan membuat orang itu
menjadi segalanya. Lalu kesetaraan ini memungkinkan ‘uang’ tersebut bukan lagi
menjadi segalanya. Bukankah kelihatan lebih adil?
RUU KUHP tentang korupsi ini menurut saya harus lebih dikaji
lagi. Beberapa pasal kelihatan lebih
baik UU Tipikor, dan dinilai bertentangan. Dan juga RUU KUHP tentang
gelandangan, menurut saya mendenda bukanlah solusi. Pemerintah seharusnya
memberikan solusi yang lebih tepat dan tidak merugikan banyak pihak. Jika RUU
KUHP tentang gelandangan ini dianggap pantas, lalu bagaimana dengan RUU KUHP
tentang korupsi? Salahkah rakyat yang berpikir, pemerintah memihak pada rakyat
besar ‘berdasi’?
Selain RUU KUHP tentang korupsi dan gelandangan ini, banyak
pasal lainnya yang dinilai tidak masuk akal dan sempat di tentang dalam unjuk
rasa kemarin. Namun, jika dilihat dan dibaca berulang-ulang, pasal lainnya ada
sisi benarnya.
Menurut saya, pasal-pasal kontroversial lainnya tidak sepenuhnya
salah, hanya saja kurang penjelasan, kurang lengkap dan kurang sosialisasi.
Sehingga bagi kami, rakyat yang awam, pasal-pasal ini tidak masuk akal yang
membuat para rakyat menyuarakan pikirannya dengan unjuk rasa. Dinilai begitu tidak
masuk akal dan tidak adil, berpikir, para dewan rakyat yang seharusnya
menyuarakan hati semua rakyat, lebih berpihak terhadap rakyat besar ‘berdasi’.
Padahal mungkin, ada pengecualian-pengecualian yang belum diberikan
penjelasannya di pasal tersebut.
Jika dilihat dari sisi berbeda, sebagain pasal-pasal ini
mempunyai makna yang baik. Hanya saja kurang penjelasan lebih lanjut dan
pengecualian-pengecualian yang di maksud, sehingga rakyat yang sebagian besar
tidak mengerti hukum berpikir pasal ini tidak jelas.
Tetapi, tetap lain halnya dengan RUU KUHP tentang korupsi dan
gelandangan ini. Terlihat jelas, seperti tidak ada kelanjutannya. Meskipun ada,
masih ada tanda tanya besar, mengapa harus diturunkan masa hukuman, untuk para
koruptor dan penyelenggara negara yang menerima suap? Dengan UU Tipikor yang
notabenenya, masa hukumannya masih lebih lama dibanding RUU KUHP ini saja,
tidak mengurangi angka korupsi, lalu bagaimana jika diturunkan masa hukumannya?
Apakah sebuah solusi? Apakah membuat para koruptor jera? Lalu setelah 2 tahun
keluar dari penjara, apakah mereka tidak akan berbuat hal yang sama lagi?
Berpikir 2 tahun sebentar, saat keluar pun belom terlalu umur untuk menjadi
seorang pejabat lagi. Dengan begitu apa gunanya di penjara? Tidak membuat para
koruptor berubah menjadi orang yang jujur. Sedangkan gelandangan, diberi denda
yang jelas saja jika dipikirkan mereka disebut gelandangan karena maaf kata,
meminta uang dari orang lain untuk melanjutkan hidupnya, lalu mengapa didenda?
Menyuruh mereka makin gencar meminta uangnya? Dan tetap menjadi gelandangan
seumur hidupnya? Lalu saat mereka sudah bisa membayar denda, apakah ada
perubahan? Tiba-tiba mereka tidak menjadi seorang gelandangan lagi? Menurut
saya, RUU KUHP ini masih perlu dikaji lebih dalam lagi sebelum benar-benar
disahkan, karena jika dipikirkan hingga akibatnya tidak membawa sebuah solusi.
Komentar
Posting Komentar