Langsung ke konten utama

Cerpen fiksi - Dua Hal Penting

Mind mapping


Tema: Percintaan
Judul: Dua Hal Penting
Kerangka karangan
Pembukaan
     a. Latar Suasana: berbunga-bunga, sedih, emosi.
         Waktu: pagi, siang, dan malam.
         Latar tempat: SMA Cendrawasih, Rumah Vino, Pelataran rumah Adara.
     b. Tokoh : - Adara (Protagonis)
                      - Alvino (Protagonis)
                      - Reta (Antagonis)
                      - Arkan (Utility: pendukung rangkaian cerita)
                      - Rafa (pemeran pembantu)
                      - Seno (pemeran pembantu)
                      - Mama Vino (pemeran pembantu)
                      - Guru (pemeran pembantu)

Isi
- Adara tiba-tiba tidak mau diajak pergi oleh Alvino (pemicu konflik)
- Alvino kesal karena terlalu banyak rahasia di diri Adara yang tidak ia tahu (konflik kecil)
- Alvino melihat Adara bersama orang lain (konflik besar)
- Alvino datang bertemu dengan orang lain yang bersama Adara, terjadi kesalahpahaman (klimaks)
- Setelah beberapa bulan berlalu, Adara mulai berdamai dengan semuanya (anti-klimaks)
- Menjadikan pelajaran dan melupakan masa lalu (re-orientasi)

Penutup
dalam hubungan yang paling penting adalah keterbukaan dan kepercayaan. Dua hal yang berkesinambungan, tidak akan ada keterbukaan jika tidak percaya, dan tidak akan percaya jika tidak ada keterbukaan.



Dua Hal Penting

Pagi itu SMA Cendrawasih dihebohkan dengan kedatangan siswi pindahan baru. Seorang siswi yang sudah menjadi topik hangat satu sekolahan. Bayangkan saja, bagaimana tidak menjadi topik hangat, baru datang saja sudah membuat semua mata lelaki melihat ke arahnya. Dan lagi, mampu membuat si lelaki yang mendapat julukan pangeran es melirik ke arahnya! 

Pangeran es. Si kutub Alvino. Mengapa dijuluki pangeran es? Alvino memiliki wajah yang sangat tampan bak pangeran di negeri dongeng, namun sayang sifatnya jauh berbeda dari seorang pangeran yang murah senyum. Jangankan senyum, peduli saja tidak. Alvino si pangeran es dan tatapan mautnya, begitulah siswa SMA Cendrawasih mengenalnya. Walaupun irit senyum, Alvino termasuk jajaran orang-orang populer di SMA Cendrawasih karena ketampanannya. 

Adara baru saja datang ke sekolah ini, tetapi mengapa semua orang menatapnya seperti sudah mengenal Adara? Ya, Adara adalah siswi yang sedang menjadi perbincangan pagi itu di SMA Cendrawasih, tampaknya tidak sadar apa karena terlalu cuek?

Seperti biasanya, Alvino bersama dengan ketiga temannya, Rafa, Seno dan Reta sedang berkumpul di lorong depan kelasnya. Kegiatan rutin mereka yang memang sudah sering mereka lakukan bersama sejak kecil, mengobrol dan bertingkah konyol. Kebetulan mereka bersekolah di tempat yang sama dari mereka duduk di bangku taman kanak-kanak. Mereka semua sudah paham akan sifat masing-masing. Rafa yang humoris, blak-blakan dan playboy. Seno sang perfeksionis dan penasihat yang kerjaannya hanya mengomentari apa yang dilakukan Rafa. Reta yang baik, anggun dan posisi yang diidolakan semua kaum hawa, bisa berada dekat dengan Alvino. Sudah menjadi hal umum kalau mereka tampak dekat.

"Cewek sendirian aja nih." tiba-tiba saja Rafa menghadangnya, saat Adara sedang melewati lorong.
Adara hanya memutar bola mata melengos dihadang oleh Rafa.
"Eh tunggu tunggu. Gua gak pernah ngeliat lo nih, lo anak baru?" Sambung Rafa keukeuh menghadang, yang hanya di balas gumaman oleh Adara.
"Ayo gua anterin ke ruang kepsek, pasti lo gatau ruang kepsek dimana. Ya kan?" Rafa pun meluncurkan aksi modusnya.
"Jangan mau. Nanti bukannya di anterin malah di modusin." Kata Seno yang entah muncul darimana.
"Apaansih lo. Muncul darimana juga gatau, tiba-tiba nimbrung aja. Diajak aja engga!" Balas Rafa sengit, tidak terima aksi modusnya dirusak begitu saja.
"Gimana ya, radar gua menangkap ada sinyal-sinyal modus. Gak bisa dong gua diem aja." Balas Seno gak mau kalah.
"Udah udah. Apaansih kalian berdua kayak anak kecil aja berantem mulu." Sela Reta dengan kalem. 
Lalu mengalihkan tatapannya ke Adara. "Maafin mereka ya. Yuk mending aku aja yang nganterin kamu ke ruangan kepsek." Sambung Reta sambil tersenyum ramah dan menggandeng tangan Adara.
"Gak usah. Gue bisa sendiri." balas Adara sambil menarik tangannya, lalu kembali berjalan.
Tanpa disadari, Alvino yang biasanya cuek akan semua hal, mengalihkan tatapannya sejak pertama kali Adara menanggapi teman-temannya.

Bel masuk berbunyi, semua siswa berlarian memasuki kelas hanya menyisakan lorong yang kosong. Adara dituntun oleh guru untuk memasuki kelas nya. Hening pun melatar belakangi saat pertama kali Adara memasukkan kakinya ke ruang kelas. Pandangan Adara menyapu seisi kelas, terpaku pada satu titik yang juga tidak bisa melepas pandangannya dari Adara. Mereka sama sama membisu dan hanya saling menatap.
"Silahkan perkenalkan dirimu nak." Perkataan guru membuat Adara memutuskan pandangannya.
"Adara." Singkat, jelas dan padat itulah Adara yang cuek.
Hening menyelimuti seisi kelas itu, berharap ada sepatah kata lagi yang mengenalkan siapa Adara layaknya perkenalan pada umumnya.
"Oke. Ada yang ingin bertanya ke Adara?" Sang guru pun memecah keheningan.
Rafa mengangkat tangannya. Ah iya, Adara sekelas dengannya. Adara memutar bola matanya saat tahu siapa yang mengangkat tangannya.
"Udah punya pacar belom dar?" Celetuk Rafa, yang membangkitkan kerusuhan cowok-cowok lainnya di kelas itu.
Adara hanya menghembuskan nafasnya kasar lalu berbicara dengan guru di sampingnya, "tempat duduk saya di sebelah mana bu?"
"Kamu duduk di sebelah Alvino saja." Jawab sang guru sambil menunjuk bangku sebelah Alvino. Adara mengikuti arah tunjuk dan terdiam saat menyadari Alvino menatap dirinya, lalu berjalan angkuh dan duduk tenang. Alvino melirik saat terdengar bunyi suara tarikan kursi lalu menghembuskan nafasnya kasar. Tanpa ia sadari, dia menahan nafas penasaran atas jawaban dari pertanyaan Rafa.

Keheningan berlanjut hingga pelajaran hampir selesai. Mereka sebangku tetapi tidak ada interaksi sama sekali yang terjadi.
"Ibu beri kalian tugas kelompok dengan teman sebangku. Tugasnya..." guru menjelaskan detail tentang tugasnya, tetapi Alvino sudah tidak mendengarkan. Pikirannya berkelana memikirkan mengapa ada rasa yang aneh saat tahu ada tugas kelompok dengan teman sebangku. Dan lagi teman sebangkunya adalah si anak baru ini, yang artinya akan ada interaksi antara mereka. 

Reta, Seno, Rafa dan Alvino adalah paket lengkap. Gak akan jadi lengkap jika kurang salah satu dari mereka. Seperti biasa Rafa yang melakukan tingkah konyol dan Seno yang selalu mengomentari. Reta yang sesekali tertawa, tak jarang menengahi mereka berdua saat sudah terlihat konflik, dan Alvino yang hanya diam tidak pernah peduli.
"Gila si Bu Teka ngasih tugas ga main-main susahnya, mana cuman berdua sama temen sebangku. Temen sebangku gua kek gini, apa-apa salah mulu." Celetuk Rafa tiba-tiba, mengomentari tugasnya.
"Salah kan karna emang lo salah. Lagian gua kali yang mestinya ngeluh dapet temen sebangku kek elo, bisanya cuman modus doang." Balas Seno gak terima.
"Doyan modus gini gini kan, gua menerima kekurangan dan kelebihan setiap orang, gak pernah komen gua mah orangnya." Rafa tetap saja tidak mau kalah.
"Mulai deh kalian berdua," sela Reta untuk kesekian kalinya hari itu. "Kamu gimana sama temen sebangku kamu Vin? Mau aku bantuin bilang ke Bu Teka untuk ganti? Kamu kan paling anti sama orang macem kayak si anak baru gitu." Sambung Reta.
Alvino mengalihkan perhatiannya ke Reta, menatapnya dengan dingin, "siapa yang bilang gua anti sama orang kayak Adara?"
Reta terdiam. Alvino melengos pergi meninggalkan teman-temannya.

Adara duduk terdiam di tempatnya, di kupingnya tersemat kabel putih menjuntai ke arah handphonenya. Di tangannya terdapat buku novel, sesekali terlihat dahinya mengernyit menandakan ia masuk ke dalam cerita novel itu. Saat itu Alvino duduk di sampingnya dengan tenang tidak berniat mengganggu. Alvino hanya berkutat dengan handphonenya dan sesekali melirik ke arah Adara. Alvino heran mengapa Adara tampak tidak terganggu dengan kehadiran dirinya. 
"Alvino." Tiba-tiba saja Alvino mengatakan namanya. Masih dengan wajah terpaku dengan layar handphone.
Hening. Tidak ada jawaban maupun pergerakan.
Alvino melirik Adara sekali lagi. Adara masih tampak mengernyitkan dahi, masih asik tenggelam dalam alur cerita novel dan sesekali mengangguk-angguk mengikuti irama musik yang keluar dari kabel putih menjuntai di telinganya. Tanpa aba-aba, Alvino menarik satu sìsi kabel putih itu dari telinganya membuat perhatian Adara teralihkan menengok ke arah Alvino, melihatnya dengan datar.
"Alvino." Sekali lagi alvino memberi tahu namanya.
Hanya dibalas kernyitan dahi oleh Adara, Alvino melanjutkan, "nama gue."
Adara tersadar, "oh." Balasnya singkat, lalu memakai kabel putih itu lagi di telinganya dan melanjutkan kesibukannya.
Alvino memperhatikan setiap gerak-gerik Adara dengan mata melotot tidak suka.
"Nama lo?" Sambung Alvino tidak menyerah.
"Lo gak amnesia kan?" Balas Adara sambil tetap memperhatikan novelnya.
"Hah? Maksud lo?" Nada sarkas Alvino mulai dipertunjukkan.
"Perasaan udah gua kasih tahu tadi pagi." Jawab Adara tidak kalah sarkas.
"Gak semua orang merhatiin. Pede banget jadi pusat perhatian lo." Kesal Alvino.
"Yaudah kalo gak merhatiin." Cuek Adara.
Tiba-tiba saja Alvino menarik novel dari tangan dan pandangan Adara, lalu menaruhnya di atas mejanya. Seketika itu juga pandangan Adara menjadi teralihkan menatap Alvino dengan kesal sambil melotot.
"Kalau mau novel ini balik, entar pulang sekolah kenalin nama lo dengan baik ke gue." Balas tatap Alvino datar lalu melengos pergi sambil membawa novel Adara.
"Ck. Apaan sih tuh cowok." Kesal Adara.

Bel pulang sekolah terdengar seantero sekolah, membuat semua siswa bersorak kegirangan. Semua siswa dengan cepat dan semangat 45 merapikan buku-bukunya dan tasnya, hal yang selalu dinanti-nantikan siswa SMA Cendrawasih ini.
"Eh mau kemana?" Panggil Alvino saat Adara hendak bangkit dari bangkunya.
"Pulang." Jawab Adara singkat.
"Gak mau ambil buku lo dulu sebelum gua buang?" Ancam Alvino.
"Mana?" Adara menadangkan tangannya.
"Kenalin nama lo dengan baik dulu ke gue." Syarat Alvino.
"Nevermind. Buang aja." Jawab Adara sambil melengos pergi.
Alvino terdiam di tempat duduk sambil melihat datar Adara.

Saat sedang berjalan santai di lorong, tiba-tiba saja dari arah belakang ada yang mengamit tas ransel Adara lalu menyeretnya, yang otomatis Adara tertarik bersama ranselnya.
"Eh eh apaansih tarik-tarik aja." Sinis Adara tidak terima.
"Lo amnesia?" Balas Alvino.
"Hah? Maksud lo?" Dahi Adara mengernyit.
"Perasaan baru tadi pagi di kasih tugas sama Bu Teka buat kerja kelompok." Sahut Alvino membalikkan kata-kata Adara tadi.
"Yang baik-baik dong ngajaknya. Jangan asal tarik gitu aja." Balas Adara kikuk.
"Lo gabisa di baikkin. Makanya gua paksa." Final Alvino membuat Adara terdiam.

"Gak ada orang?" Tanya Adara saat masuk ke rumah Alvino dan mendapati keheningan.
"Kelihatannya?" Jawab Alvino cuek.
Adara hanya memutar bola matanya kesal.

Setelah beberapa jam mereka mengerjakan tugasnya, Alvino bangkit berdiri lalu berjalan ke arah dapur dan sesaat kemudian membawa segelas air putih sambil meminumnya, lalu kembali duduk.
"Buat gua?" Celetuk Adara sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Oh lo mau." Jawab Alvino tanpa dosa, lalu berjalan kembali ke arah dapur.
'Menurut lo?' Sarkas Adara sambil komat-kamit.
Alvino kembali sambil membawa segelas air putih lalu meletakkannya di meja depan Adara.
"Air putih?!?" Tanya Adara sambil menaikkan alisnya satu.
Gumaman Alvino pun terdengar. Adara hanya memutar bola matanya, namun tak urung diminum juga. Alvino hanya tersenyum kecil sambil terlihat fokus dengan tugasnya.

Hari semakin sore, mereka merapikan tugasnya dan Adara bersiap-siap pulang. Alvino sedang merapikan buku-bukunya saat Adara hanya duduk terdiam, "gak pulang?" Tanyanya tanpa dosa.
"Nungguin elo." Jawab Adara.
"Lo lupa ini rumah gue?" Lirik Alvino lalu kembali sibuk merapikan bukunya.
"Lo lupa siapa yang bawa gue kesini?" Balas Adara gak mau kalah.
"Tugas kan? Bukan gue." Jawab Alvino cuek.
"Gak tanggung jawab banget sih jadi cowok." Sarkas Adara.
"Tanggung jawab? Emang gua habis ngapain?" Balas Alvino kali ini menatap Adara.
Adara melengos pergi ke depan pintu rumah Alvino, "anterin.gua.pulang.sekarang." tekan Adara di setiap katanya.
"Ck. Manja." Sindir Alvino sambil melewati Adara.

Pagi itu, Adara datang terlambat karena semalam ayahnya berulah kembali. Pulang dengan kondisi mabuk, lalu memukul ibunya semaunya. Bisa dibilang pribadi cuek dan dinginnya Adara adalah hasil dari ayahnya. Sejak kecil ayahnya sering pulang dengan keadaan mabuk dan memukuli ibunya, tak jarang ia juga kena imbasnya saat berusaha melindungi ibunya. Tak jarang juga ibunya menangis sangat keras setiap malam lalu berakhir dengan memaki ia. Rumah bagi sebagian orang adalah tempat ternyaman, tempat kita bisa menjadi diri sendiri, tapi tidak bagi Adara. Rumah adalah neraka baginya. Di rumah ia merasa seperti tidak di anggap, terkadang ingin rasanya tidak menginjakkan kaki di rumah itu lagi. Tetapi dipikirannya masih terbayang sosok ibunya yang akan dia lindungi mau bagaimanapun perlakuan ibunya terhadapnya.

Pagi itu Alvino juga datang terlambat. Alarm yang seharusnya membangunkannya, malah tidak berbunyi seperti seharusnya. Ia kesal sekali. 
Alvino dan Adara mendapat hukuman bersama, berjemur di depan tiang bendera hingga masuk pelajaran jam ke-2 nanti. Panas terik menyambut mereka, keringat mulai bercucuran di balik kaos Adara yang membuat luka di punggung mulai terasa perih ketika terkena tetesan keringat. Tampak Adara sesekali mengernyit menahan sakit. Alvino menyadarinya, namun hanya terdiam mengerti.

Mereka memasuki pelajaran jam ke-2 secara bersamaan. Tampak heran seisi kelas melihat kebersamaan Adara dan Alvino. 
"Ta ada apaantuh, kok bisa bareng? Bukannya Alvino paling gak suka deket-deket sama cewek?" Senggol teman sebangku Reta. 
"Iya, bukannya cewek yg bisa deket sama Alvino cuman elo doang? Siapa sih tuh cewek? Pake pelet dimana ya, bisa nyantol gitu." Sambung seorang siswi yang duduk di belakangnya. Reta hanya tersenyum anggun menanggapi semua perkataan temannya. Tak dipungkiri hatinya dongkol juga melihat kebersamaan Alvino dan Adara.

Bel istirahat berbunyi, semua siswa berhambur ke kantin demi melepas penat sekaligus memberi makan pada perut mereka yang keroncongan. Menguras otak membuat lapar. Begitupun dengan 4 sekawan populer yang sudah menjadi hal umum, bersama-sama memasuki kantin.
"Eh bentar uang aku kayaknya ketinggalan di tas deh. Kalian duluan aja ya nanti aku nyusul." Kata Reta tiba-tiba memberhentikan.
"Kenapa mesti duluan? Kenapa gak kita tungguin aja? Mau ada apaan emang lo Ret?" Sepertinya Seno tidak hanya tukang komentar Rafa saja, tetapi Reta pun ikut dikomentari.
"Gak ada apa-apa. Gak enak aja kalian nungguin aku. Udah sana duluan aja, nanti aku nyusul kok." Jawab Reta kalem.
"Yaudah ayok bro. Kantin." Final Rafa sambil merangkul bahu Seno.
Alvino hanya menatap dalam Reta, lalu berjalan pergi. Reta menarik napas dalam saat mereka semua pergi.

Adara benci keramaian. Adara benci menjadi pusat perhatian. Ia hanya duduk sambil menelungkupkan wajahnya di antara lengannya sambil kabel putih terjuntai di antara telinganya. Sesekali ia mengangguk-angguk mengikuti irama. Ia bosan tidak ada novel. Tetapi ia juga benci untuk pergi ke kantin untuk hanya sekedar makan. Walaupun perutnya berteriak meminta di isi. 
Bunyi tarikan bangku menyadarkan Adara, ia terbangun dari posisinya menatap ke depan,
"Hai. Aku Reta." Sapa Reta dengan senyum hangat sambil mengulurkan tangannya.
"Adara." Balas Adara cuek tanpa menanggapi uluran tangan Reta.
Reta mengamit tangan Adara dan mengajaknya bersalaman layaknya perkenalan, "kalau orang ngajak kenalan tuh ditanggepin Dar, jangan di cuekin. Mana ada yang mau jadi temen kamu coba kalau kamunya kayak gini." Diakhiri dengan senyum ramah Reta.
"Bisa cerewet juga lo soal hal kecil kayak gini. Anggun lo di depan sohib lo doang ya. Kenapa? Takut mereka gak mau temenan sama lo?" Sarkas Adara.
Reta melotot tak terima di bilang begitu, "engga kok, aku cerewet karena aku peduli sama kamu." Ngeles Reta.
Adara hanya memutar bola matanya, muak dengan cewek di depannya.
"Kantin yuk. Temenin aku." Pinta Reta tiba-tiba.
Adara mengernyitkan dahinya, 'gak waras nih cewek, udah gua sinisin masih aja ngajak kantin.' Kata Adara dalam hati.
"Ayo ih kantin. Aku di tinggal sama yang lain nih." Pinta Reta lagi.
"Gak mau." Jawab Adara singkat sambil menelungkupkan wajahnya kembali.
"Ayo dong Dar." Rayu Reta sambil menarik-narik tangannya.
"Gak usah sok deket deh sama gue. Gue bilang gak mau ya gak mau. Dasar lenjeh." Jawab Adara sinis.
Reta melotot kaget, lalu pergi keluar kelas dengan menghentak-hentakan kakinya.

Sepulang sekolah, Adara kembali ke rumah Alvino, melanjutkan tugas mereka yang belum selesai kemarin. Adara menunggu Alvino di ruang tamu rumahnya sambil memainkan handphonenya. Tiba-tiba seseorang masuk ke dalam rumah, "eh ada tamu." Sapa seorang wanita yang ikut duduk di samping Adara.
Adara tersenyum menanggapi.
"Temennya Vino?" Tanya wanita itu.
Baru saja Adara hendak menjawab, wanita itu kembali berbicara, "atau jangan-jangan pacarnya? Astaga. Akhirnya Vino bawa pacar juga ke rumah. Tante sempat kira dia gak normal loh. Habisnya gak pernah bawa temen cewek ke rumah. Semenjak-" cerocos wanita itu yang terpotong oleh kedatangan Vino dari dalam rumah.
"Kebiasaan deh. Ini sebenernya yang membuat Vino males bawa temen ke rumah, bukannya Vino gak normal." Sela Vino sambil duduk.
"Iya iya maaf Vin." Jawab wanita itu.
"Oh iya, saya mamanya Alvino. Kamu terserah mau manggil apa aja. Tante boleh, mami juga boleh kok." Sambung wanita itu dengan ramah ke Adara.
"Iya tan. Saya Adara temen kelas Alvino." Jawab Adara dengan sopan.
"Oh nama kamu Adara. Cantik ya namanya seperti orangnya." Puji wanita itu.
"Bisa aja tante. Tante juga cantik kok." Balas Adara sambil tersenyum kecil.
"Pantas saja ya, anaknya juga ganteng gini." Rayu wanita itu sambil melirik Alvino.
"Apaansih ma. Udah ah sana, Vino mau ngerjain tugas sama Adara." Usir Vino.
"Iya iya. Galak banget sih sama mamanya." Sindir wanita itu sambil berjalan pergi.

Hari menjelang malam, tugas mereka hampir selesai. Mama Vino sesekali datang untuk mengajak ngobrol Adara dengan seru, mereka asik dan larut dalam pembicaraan. Seakan mereka lupa kalau masih ada seseorang yang ada di sekitar mereka. Tak jarang terlihat senyum di wajah Adara, sesekali ia pun tertawa dengan lebarnya. Alvino hanya melihat setiap perubahan ekspresi yang ia temukan pada wajah Adara, enggan untuk melenyapkan senyum dan tawa itu hanya untuk selembar tugas mereka.
Adara tersadar, menengok ke arah gelapnya langit di luar, "eh iya tante, kayaknya Dara mesti pulang deh. Udah malam, takut Ibu khawatir di rumah." Pamit Adara.
"Eh sudah malam loh. Gak nginep aja, nanti tante telfonkan ke rumah biar orang tua kamu gak khawatir." Bujuk mama Vino.
"Gak usah tan. Takut ngerepotin, Adara pulang aja. Gak papa kok tan, Adara udah biasa sama gelap." Kekeh Adara mengakhiri percakapannya.
"Ya sudah di antar Vino ya."
"Vin antar Dara sampai rumahnya gih." Pinta wanita itu.
Hening. Tidak ada jawaban.
"Vin?" Panggil wanita itu sambil menengok ke arah Alvino. Begitu juga dengan Adara yang menengok ke arah Alvino.
"Eh? Kenapa ma?" Sadar Alvino saat objek yang dilihatnya memusatkan perhatiannya ke arahnya.
"Kamu ngelamunin apa sih? Sana antar Dara sampai rumahnya, udah malem nih." Pinta wanita itu kesekian kalinya.

Hujan tiba-tiba turun dengan lebat. Alvino menepikan motornya di halte pinggir jalan. Berteduh sementara hingga hujan reda.
"Maaf ya berhenti dulu neduh. Gak bawa jas hujan dua. Gak buru-buru kan?" Suara Alvino memecah keheningan ditengah suara derasnya hujan.
Adara menggeleng sebagai jawaban.
Alvino menyender pada tiang sambil memperhatikan Adara yang menyilangkan kedua lengannya di dada dan tampak pucat. Memang tadi sebelum menemukan halte, mereka sempat terkena hujan deras yang mampu membuat basah kuyup tubuh mereka.
Tiba-tiba dengan diam Alvino memberikan jaketnya kepada Adara.
"Eh. Gak usah." Tolak Adara.
"Muka udah kayak zombie gitu. Gue gak mau di salahin kalau sampai lo sakit nanti. Pake." Paksa Alvino.
Adara mengambil jaketnya dan memakaikannya di bahunya.
"Mama lo asik." Celetuk Adara tiba-tiba.
"Cerewet gitu dibilang asik." Balas Alvino.
"Ibu gua ga se-cerewet itu. Asik aja gitu punya Ibu yang peduli banyak." Sambung Adara.
Alvino diam mendengarkan sesekali melirik ke arah Adara.
Hening.
"Gue boleh main ke rumah lo kapan aja kan Al?" Tanya Adara tiba-tiba.
Alvino menoleh bingung sambil menaikkan alisnya, 'Al?' Dalam hatinya bertanya-tanya.
"Kalau gua lagi butuh teman cerita, gue boleh dateng ke mama lo kan?" Lanjut Adara menegaskan.
"Lo pikir mama gua psikolog. Bisa lo datengin saat butuh teman cerita." Sarkas Alvino.
Adara hanya mengangkat bahunya tidak peduli dengan jawaban Alvino.
Alvino terdiam cukup lama memandangi, satu persatu tampak begitu nyata di mata Alvino.

"Ra nonton yuk. Ada film bagus nih." Pinta Alvino.
"Sstt. Jangan berisik Al, ini perpustakaan." Jawab Adara sambil berbisik.
Jam istirahat sedang berlangsung, hampir seluruh siswa SMA Cendrawasih sedang memadati kantin, hanya segelintir orang yang mendatangi tempat damai nan tenang ini. Sudah di katakan bukan? Adara benci keramaian dan menjadi pusat perhatian? Karena itulah mereka di sini.
"Iya Ra tahu. Makanya cepet jawab mau apa engga, biar ga berisik." Keukeuh Alvino.
"Iya iya entar ya Vino, pulang sekolah kita nonton. Udah ya jangan berisik lagi." Bisik Adara sambil celingak-celinguk melihat penjaga perpustakaan yang sedang tertidur di mejanya.
Semenjak insiden hujan, mereka terlihat tampak lebih dekat. Masing-masing dari mereka tampak terlihat lebih terbuka satu dengan yang lainnya. Melupakan kalau mereka hanyalah orang yang baru saling kenal.

"Ayo Ra buruan. Keburu kehabisan tiket." Teriak Vino di depan kelas. Semua orang nampak sudah tidak kaget atas perubahan 180° nya Alvino. Semenjak Adara datang ke sekolah mereka, pangeran es hanyalah tinggal julukan jika menyangkut tentang Adara. Teman-temannya pun heran atas perubahan Alvino yang dibawa oleh Adara. Reta yang notabenenya terkenal satu-satunya cewek yang dekat dengan Alvino kelihatan kesal melihat setiap hari mereka tampak bersama.
"Sebentar Al, lagi beresin buku ini." Jawab Adara sabar.
Semenjak mengenal Alvino, Adara menjadi dirinya sendiri. Ia tidak lagi cuek, jutek dan bersifat sarkas. Ia merasa masih ada orang yang bisa di percaya dan menjaganya.
"Buruan Ra. Jangan lama-lama." Balas Alvino gregetan.
"Yaudah deh lo nonton sendiri aja sana. Gue gak ikut." Kesal Adara. Sesabar-sabarnya Adara, lama-lama ia pun juga kesal. Sebenernya hanya Adara saja yang sering di uji kesabarannya seperti ini oleh Alvino.
Alvino terkekeh lucu lalu berjalan menghampiri Adara.
"Iya iya di tungguin. Jangan kesel gitu dong." Rayu Alvino sambil cengengesan.
"Ck." Decakan Adara keluar dari mulutnya sambil lanjut membereskan tasnya.
Alvino tertawa melihat tingkah Adara yang menurutnya lucu saat sedang kesal.

"Lo udah punya pacar belom sih Ra?" Tanya Alvino penasaran.
"Gak jelas lo." Lirik Adara yang sedang membaca buku di kelas.
Pagi itu mereka datang kepagian, seisi kelas, bahkan satu sekolah masih terlihat sepi. Penyebabnya adalah Alvino yang entah kemasukan apa menjadi sangat rajin, pagi-pagi sudah bertengger di depan rumah Adara, menelepon agar cepat bangun dan berangkat bersamanya.
"Serius Ra. Gue penasaran dari awal banget." Alvino merajuk.
"Gak punya." Jawab Adara cuek tetap membaca bukunya.
Hening. Tidak ada balasan lagi dari Alvino.
"Ra pacaran yuk." Celetuk Alvino tiba-tiba.
"Bercanda lo ya. Ngajak pacaran kayak ngajak main." Kaget Adara bercampur kesal.
"Engga. Serius. Pacaran yuk Ra." Raut Alvino berubah serius.
"Stress nih orang. Udah ah gak lucu bercandanya Al." Balas Adara sambil melengos menutup bukunya hendak pergi.
Alvino mengamit tangan Adara dan membalikkan tubuh Adara hingga menatapnya, "Ra gue serius saat ngajakin lo pacaran. Gak pernah rasanya, gue seserius ini sama suatu hal." Tatap Alvino dalam ke mata Adara.
Adara kikuk, matanya berlarian kesana kemari menghindari tatapan Alvino yang begitu intens.
"Yaudah kalo lo mikirnya bercanda." Putus Alvino sambil melepas pegangan tangannya.
"Eh. Yaudah." Jawab Adara buru-buru sambil menggenggam tangan Alvino yang sempat terlepas.
Alvino tersenyum sumringah, "yaudah apa nih?" Goda Alvino menaik turunkan alisnya.
"Terserah." Jawab Adara sambil melengos pergi. Seharian itu di muka Alvino hanyalah senyum, membuat semua orang bertanya-tanya, apakah ada pemanasan global mendadak? Mengapa semua es mencair? Bagi Alvino hari itu adalah salah satu hari bahagianya sejak pertama kali Adara hadir di kehidupannya.

"Ra diundang mama aku ke rumah. Mau diajak makan malam katanya." Kata Alvino memecah keheningan.
"Sorry Al, gak bisa. Sampaikan salam aku ke mama kamu ya." Tolak Adara.
"Kamu lagi kenapa sih Ra? Kamu bosen? Kenapa setiap aku ajakin pergi, pasti kamu ada aja alasannya." Kesal Alvino.
Sudah terhitung satu bulan sejak hari dimana mereka resmi berpacaran. Sejak hari itu juga Adara berubah, Adara menjadi dirinya yang dulu. Cuek, jutek dan bahkan sering membatalkan janji dengan Alvino.
"Aku kali ini beneran gak bisa Al. Sorry banget. Lain kali pasti aku dateng." Jelas Adara.
"Lain kalinya kapan Ra? Kamu selalu ngomong gitu kalau ngebatalin janji. Tapi gak pernah datang hari dimana kamu akan pergi." Tumpah sudah semua kekesalan Alvino selama ini.
"Aku lagi banyak urusan Al yang gak bisa aku tinggal, kamu tahu kan? Hidup aku gak seindah kebanyakan cewek remaja lainnya." Dengan sabar Adara memberikan pengertian.
"Gimana aku tahu Ra, kamu aja gak pernah cerita apa-apa sama aku. Aku mau main ke rumah kamu aja gak boleh. Ada apa sih sebenernya Ra? Kamu nyembunyiin apa sih dari aku?" Cerocos Alvino dengan emosi.
"Al ada saatnya kamu akan tahu. Bukan sekarang, aku masih belum siap ngasih tahu semua ke kamu." Jawab Adara sabar.
"Tuh. Gimana aku gak mikir yang engga engga. Kamunya aja penuh rahasia gini." Sarkas Alvino.
"Ini alasan aku gak mau kamu tahu rahasia aku Vin. Sebagus apapun alasan aku, sejujur apapun alasan aku, kamu tetap gak akan percaya nantinya sama aku Vin." Jawab Adara membuat Alvino terdiam.
"Bukannya aku gak mau kasih tahu rahasia aku. Aku nunggu Vin. Nunggu kapan kamu sabar untuk aku kasih tahu dan percaya sama aku." Sambung Adara lagi lalu pergi meninggalkan Alvino.
Alvino terdiam, 'Vin.' Panggilan 'Al' untuk Alvino sudah berubah menjadi 'Vin'.

Alvino uring-uringan. Dia hanya membolak-balikan badannya di tempat tidurnya.
"Salah kalau gua gak sabar? Salah kalau gua butuh penjelasan? Arrgghh." Teriak Alvino sendirian di kamarnya. Ia mengambil kunci motornya dan memacu kendaraannya pergi ke rumah Adara. Setidaknya dia berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tidak hanya diam di kamar, ngambek seperti anak kecil, Pikirnya. 

Adara berjalan sendirian. Ia habis dari minimarket di seberang jalan sana, membeli beberapa keperluan.
"Woy. Mau ke rumah sakit kapan? Gua panggilin daritadi tahunya lo gak ada di rumah." Teriak seseorang yang sedang duduk di atas motor mengagetkan Adara.
"Eh. Iya sekarang Ar. Sorry habis dari minimarket bentar." Balas Adara kaget.
"Yaudah sana siap-siap, gua tungguin." Balas orang itu lagi.
Ia adalah Arkan, sahabat Adara dulu saat di sekolah lamanya. Arkan memang menyimpan perasaan pada Adara, namun Adara tidak mau membalasnya. Ia malu, Arkan tahu semua tentang keluarganya, tahu bagaimana kalau Adara menangis, tahu semua kesusahan Adara selama ini. Adara berpikir, Arkan menyukainya hanyalah sebatas kasihan. Adara merasa sudah cukup nyaman dengan kedekatan mereka sebagai sahabat ini. Tidak lebih.
Adara keluar dari rumah, sudah siap lalu naik ke boncengan Arkan. Mereka akan pergi ke rumah sakit. Ini penyebab belakangan ini, Adara tampak menjauh dari Alvino. Sepulang sekolah sebulan yang lalu, Adara kaget saat masuk tiba-tiba Ibunya sudah pingsan di ruang tamu. Di pikirannya hanyalah nama Arkan. Ia membawa ibunya bersama arkan ke rumah sakit. Pihak rumah sakit berkata, ibunya sudah lama pingsan, mengapa tidak langsung dibawa ke rumah sakit? Setiap pulang sekolah, Adara memang tidak langsung pulang. Ia pasti akan pergi bersama Alvino untuk tertawa bersama dan pulang saat matahari akan terbenam. Ini yang membuat Adara sempat terpukul, kalau saja ia tidak egois hanya bersenang-senang untuk dirinya, pasti ibunya tidak akan selama ini di rumah sakit. 

Sudah gelap, namun Alvino dengan motornya masih saja bertengger di seberang rumah Adara. Menanti Adara pulang dan meminta penjelasan. Alvino tidak datang sesudah mereka pergi ke rumah sakit, Alvino datang jauh sebelum Adara kembali dari minimarket. Awalnya ia ingin turun, mengetuk pintu rumah Adara. Namun, niatnya terhenti karena melihat sudah ada seseorang di depan rumah Adara lengkap memakai seragam SMA. Tak lama Adara datang membawa sekantung belanjaan dan terlihat berbincang cukup akrab dengan seseorang itu. Alvino melihat semuanya sambil mengepalkan tangannya, pikiran yang tidak tidak mulai menghampiri kepalanya. Ia berusaha untuk tidak berpikir, ia akan mendengar sendiri alasan dari Adara. Namun hingga pagi menjelang Adara tak kunjung pulang.

Pangeran es datang kembali. Raut wajah dingin Alvino mulai terlihat kembali sejak beberapa bulan yang lalu telah tiada. Alvino kembali seperti dirinya yang dulu. Satu sekolah merasakan hawa dingin yang dulu sempat hangat muncul kembali, membuat semua orang bertanya-tanya, apakah ada salju semalam? 
"Adara tercinta mana nih. Tumben Vin gak sama ayang bebeb." Celetuk Rafa.
Alvino yang baru saja duduk langsung memberikan tatapan tajam.
"Emang Vino serumah sama Adara, setiap hari mesti bareng?" Sarkas Seno menanggapi celetukan Rafa.
"Lo ada masalah apa sih sama gue No. Lo mau ribut? Ayo." Jawab Rafa.
"Mulai lagi deh," sela Reta menengahi.
"Aku kan udah bilang Vin. Kamu pasti bakal anti sama anak baru itu." Sambung Reta berbicara ke Alvino.
Alvino diam tidak menanggapi. Tapi diam-diam mendengarkan.

Adara terlambat datang ke sekolah karena semalaman di rumah sakit menjaga ibunya. Untung saja pelajaran pertama olahraga, tidak terlalu ketat soal absen. Saat Adara sampai di kelas, sepi menyapanya. Hanya tas-tas yang ada, semua orang pasti sudah ada di lapangan. Ia menuju bangkunya dan merasa aneh, mengapa tidak ada tas sama sekali di mejanya? Alvino tidak masuk? Dia menyapu sekeliling dan melihat tas Alvino jauh di bangku paling depan. Adara mengernyitkan dahinya, 'masih marah?' Adara bertanya dalam hatinya.

"Vin." Teriak Adara memanggil.
Yang dipanggil masih sibuk berjalan bersama temannya ke arah kantin.
"Vinn." Panggil Adara sekali lagi sambil berlari menyusul.
Rafa menengok, melihat Adara berlari ke arah mereka, "Vin dipanggil ayang bebeb tuh." Kata Rafa memberitahu.
"Biarin. Kalian pura-pura aja gak dengar." Sahut Alvino acuh sambil terus berjalan.
"Vinnn." Adara terus memanggil sambil berlari. "Budeg banget sih kupingnya." Sungut Adara berhenti.

Adara baru saja kembali beristirahat dari unit kesehatan, tiba-tiba saja kepalanya pusing saat pelajaran terakhir, jadilah dia berada di unit kesehatan menghabiskan jam pelajaran terakhirnya. Saat memasuki kelas, kesunyian menyapanya, kelas sudah sepi hanya tersisa tasnya saja di atas mejanya. Alvino? Entah kemana. Daritadi seakan Alvino tidak mengenal dirinya.
"Hai Dar." Sapa seseorang dari balik punggungnya.
Adara menoleh lalu memutar bola matanya saat tahu siapa yang menyapanya.
"Kamu sakit?" Tanya Reta perhatian.
"Gak usah pura-pura peduli. Udah gak ada siapa-siapa di sini. Cuman kita berdua aja." Sarkas Adara muak.
"Kenapa sih harus lo yang dapet Vino? Gue yang dari dulu selalu ada di dekat Vino, kenapa gak pernah di lirik? Lo apain Vino? Jujur sama gue." Jujur Reta.
"Gua sengaja bersikap gini, biar Vino ngelirik gue sedikit aja. Gua rela jadi orang lain di hadapan Vino biar dia ngelirik gue. Tapi kenapa gua selalu kalah? Dulu Nata sekarang elo. Kenapa kalian berdua selalu berhasil memikat hati Vino dengan kebohongan kalian." Sambung Reta dengan muka memerah menahan amarah.
"Gak elo gak Nata sama. Sama-sama ngebohongin diri sendiri. Tapi kenapa saat gua ngebohongin diri gua sendiri, Vino ga nengok ke gue?" Lanjut Reta.
"Karena kelihatan mana yang kebohongan di sengaja dan mana yang kebohongan karena gak ada pilihan Ta." Balas Adara membuat Reta terdiam.
"Vino bukan tipe orang yang mudah di ambil perhatiannya. Orang macam Vino lebih suka apa adanya tanpa berbohong karena dia sadar dirinya sendiri juga penuh kepura-puraan." Sambung Adara.
"Jadi diri sendiri Ta." Lanjutnya lalu berjalan pergi meninggalkan Reta.
"Dar, Vino marah sama lo. Gua gak tahu kenapanya. Yang jelas dia lagi marah sama lo. Gua kasih tahu kalau kalau lo gak peka." 
"Iya gua tahu dan cukup peka. Thanks infonya." Balas Adara.

Adara sampai di depan rumahnya, melihat dua orang sedang berdiri menatap sengit satu dengan yang lainnya di pelataran rumahnya.
"Alvino? Kamu ngapain di sini?" Tanya Adara kaget.
"Kenapa Ra? Kamu kaget ketahuan? Kamu takut aku kenal sama selingkuhan kamu ini?" Sinis Alvino.
"Hah? Kamu salah paham Vin. Arkan cuman sahabat aku bukan selingkuhan aku." Jelas Adara.
"Asal kamu tahu ya Dar, gak ada namanya persahabatan antara cewek sama cowok." Pukulan telak Vino memukul Adara.
"Lalu Reta? Selingkuhan juga?" Balas Adara.
"Kok jadi bawa-bawa Reta, dia temen aku dari kecil Ra." 
"Arkan juga temen aku Vin."
"Tapi kamu ada aku Ra. Kenapa kamu harus pergi sama dia sampai gak pulang ke rumah segala."
Adara terdiam.
"Aku kecewa dua hal sama kamu Ra. Kamu gak pernah bisa terbuka sama aku dan kamu emang gak pernah anggap aku sebagai pacar kamu." 
"Bukannya aku yang gak bisa percaya sama kamu, tapi kamu yang gak pernah kasih kepercayaan itu ke aku Ra. Kita sampai disini aja ya Ra. Kamu benar, aku gak cukup sabar nunggu kamu." Final Alvino lalu pergi meninggalkan Adara yang terdiam.

Beberapa bulan berlalu, ibunya masih saja di rumah sakit berbaring tidak berdaya. Arkan setia menemaninya dan ibunya. Adara memutuskan untuk putus sekolah demi bekerja untuk membiayai perawatan rumah sakit ibunya. Ayahnya? Semenjak ibunya masuk ke rumah sakit hampir tiap malam sudah tidak pernah datang ke rumahnya. Entah sudah tahu apa belum kabar tentang istrinya.

Sesekali teman-teman sekolahnya yang mengenal Adara datang untuk menjenguk dan memberikan doa untuk ibunya. Reta? Sekarang menjadi teman baik Adara. Baru kali ini Adara mendapat teman perempuan. Rasanya berbeda dari Arkan. Alvino? Iya, sudah tahu kalau ibunya Adara masuk rumah sakit, terkadang datang beberapa kali bersama mamanya. Hubungannya? Sudah sampai disitu, tidak ada kelanjutan. Yang pasti Adara tahu, dalam hubungan yang paling penting adalah keterbukaan dan kepercayaan. Dua hal yang berkesinambungan, tidak akan ada keterbukaan jika tidak percaya, dan tidak akan percaya jika tidak ada keterbukaan. Dan lagi masa lalu bukanlah patokan, masa sekarang adalah yang harus kita jalani ke depannya. Entah dapat kejadian apa di masa lalu, itu hanyalah sebuah pelajaran, bukan sebuah trauma yang akan kita terus bawa sampai nanti. Kuncinya ikhlaskan. Tidak semua orang sama dan harus mendapatkan perlakuan yang sama. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Chef Juna, Bakat Atau Keterampilan? Dari Berandalan Menjadi Chef Profesional

  Junior Rorimpandey atau lebih dikenal sebagai Chef Juna merupakan seorang koki professional spesialis masakan Perancis dan Jepang. Ia dilahirkan di Manado, 20 Juli 1975. Namanya dapat diketahui banyak orang berkat penampilannya yang menjadi salah satu juri dalam ajang Master Chef Indonesia. Sebagai juri, ia dikenal memiliki sifat yang sangat kejam, galak, tidak ramah serta komentarnya yang sangat pedas di acara TV yang menayangkan program memasak itu. Bahkan Chef Juna sampai mendapat kritikan pedas dari penonton yang mengikuti program acara TV tersebut. Namun, kepiawaiannya dalam memasak memang tidak diragukan lagi. Tak jarang dia sering menunjukkan keahliannya itu di depan para peserta dan tentunya juga di depan kamera. Koki yang telah diakui dengan lisensi dan keterampilannya itu ternyata sempat menempuh pendidikan di Universitas Trisakti, Jurusan Perminyakan selama 3,5 tahun. Namun, sayangnya ia tidak menamatkan pendidikannya hingga selesai lantaran dirinya yang dinilai terlalu

Kata Orang Tentang Seafood

  Seafood atau makanan olahan dari laut tidak jauh populer dari makanan daging lainnya, seperti daging ayam atau sapi. Karena cita rasanya yang unik dan berbeda dari daging ayam atau sapi, membuat seafood digemari. Namun tak jarang, beberapa orang harus berpikir dua kali untuk makan seafood karena kandungan kolesterolnya yang tinggi.  “yang tidak makan ikan, saya tenggelamkan!” kata mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Bu Susi Pudjiastuti. Bu Menteri aja promosi makan ikan sampai segitunya. Memang, sih, selain karena Indonesia ini negara maritim yang kaya akan hasil lautnya, seafood itu juga banyak manfaatnya, lho! Photo by  Julia Volk  from  Pexels Namun, dengan ini sifat bijak dalam memakan juga harus ada pada setiap konsumen seafood ini. Konsumen didorong untuk lebih selektif memilih hidangan laut. Karena kelanggengan sumber daya alam laut tidak mungkin dapat terjaga tanpa mengikutsertakan peran masyarakat sebagai sang konsumen. WWF Indonesia juga sempat melakukan sos