Langsung ke konten utama

Unforgettable / Pure Love (2016)


Prolog
-- 6 Agustus 2014 --
Menjelang malam, di stasiun radio tempat dimana ia bekerja.
“aku tahu aku terlambat hari ini. Jangan mengomel.” Selanya memberhentikan ocehan seseorang sambil memasuki ruang studio,
“hari ini tidak usah banyak bicara, putar musik saja, pendengar kita kan suka dengar musik.” Ucapnya ke wanita itu sambil membolak-balikkan naskah yang ia pegang.
“itu yang kau suka? mulai sejak kapan kau berhenti membaca naskah dan hanya memutar musik saja?” balas wanita itu sambil berkacak pinggang.
“acara musik, ya harus putar musik. Ini kan bukan variety show.” Sahutnya tak peduli.
Ia adalah seorang penyiar radio, Beom Sil. Tidak banyak bicara, tapi entah mengapa menjadi seorang penyiar radio, yang notabenenya berbicara adalah pekerjaannya.

On Air
dua orang penjahat dipenjara memandang keluar melalui sebuah jendela kecil.
Mengenakan seragam pidana yang sama, penjara yang sama,
dan juga... udara yang sama.
tapi salah satu dari mereka menundukkan kepalanya,
dan menatap ke atas tanah berlumpur,
yang satunya lagi menengadahkan kepalanya,
menatap bintang-bintang yang bersinar dengan terang di langit.
Bagaimana dengan kalian?
Yang kalian lihat adalah tanah yang dipenuhi lumpur,
Atau langit yang berbintang?

“Hari ini kami menerima sepucuk surat yang istimewa, masih adakah orang yang seromantis ini zaman sekarang?”

Seiring berlalunya waktu,
Rasanya baru kemarin kita bertemu.
Wajah yang dipenuhi kerinduan.
Hari ini rasanya amat sangat merindukan teman-teman lama.
Sambil memandangi cahaya bintang,
Aku berpisah dengan temanku itu.
Aku ingin minta diputarkan lagu yang kudengar pada hari itu.
Jeong Soo Ok, dari provinsi Goheung.
Lelaki itu terdiam menatap tulisan itu, bukan, lebih tepatnya nama itu.

-- 1991, Goheung, Musim Panas --
Jung Soo Ok POV
Dermaga, tempat yang sangat aku sukai. Selain berhubungan dengan pantai dan kapal, juga sebagai tempat penantianku, penantian bertemu dengan teman-temanku yang bersekolah di kota sana. Mereka jarang ke pulau ini, hanya beberapa kali saat liburan sekolah, itulah mengapa aku suka dengan dermaga, tempat penantian yang sangat panjang terbayarkan.
“Soo Ok.” Teriak perempuan di kapal seberang sana.
“Gil Ja.. apa kabarmu?” balasku berteriak juga. Ya, perempuan itu temanku yang kunantikan, aku sangat senang mereka datang hingga berteriak tak sadar.
“Beom Sil.” Teriakku lagi kepada laki-laki disebelah perempuan di kapal. Ya, laki-laki itu juga temanku yang sangat kunantikan, mereka berdua, tidak lebih tepatnya bertiga, memang bersekolah di kota sana meninggalkan pulau yang membesarkan mereka ini. Terkadang aku ingin seperti mereka, tapi aku cukup sadar diri.
Gil Ja dan Beom Sil melambai-lambaikan tangannya kegirangan yang ku balas dengan lambaian tanganku juga sambil melompat-lompat. Kami cukup senang bertemu setiap liburan sekolah, memang itu yang kami tunggu-tunggu.
Kami tak akan lengkap tanpa kehadiran satu orang lagi, “Gae Deok.” Teriak Gil Ja kegirangan. Dia menyusulku, tadi aku jelas berdiri sendiri di dermaga ini. Ngomong-ngomong terdengar aneh bukan namanya? Sebenarnya ini hanya nama julukan, bukan nama asli. Gae Deok itu bagaikan seekor anak anjing yang imut yang sangat di sayang-sayang, kedengarannya menggemaskan sehingga menjadi nama panggilan.
“apa kabar?” Sambut Gae Deok kegirangan juga.
“Baik.” Sahut Beom Sil memeluk Gae Deok senang.
Kami baru bertemu dan sudah bermain kegirangan, penantian panjang kami terbayarkan.

-- 6 Agustus 2014,--
On Air
Ia terdiam cukup lama, nama itu membuatnya kembali ke masa lalu.
‘fokus!! Fokus!!’ tulisan itu muncul di layar komputer depannya.
“sebenarnya hari ini..” ia mulai fokus, lalu mengetikkan sesuatu di layar komputer depannya ‘penulis Park, tolong cari surat pengirim cerita ini.’ “..jarang-jarang sekali program ini berjalan sesuai dengan naskah, walaupun sedikit canggung, tapi hasilnya lumayan.” lanjutnya, “nama pendengar yang baru saja mengirim cerita terdengar begitu familiar, sehingga membuatku kaget sesaat.” Ia terdiam sesaat, “benar-benar... seorang teman yang sangat akrab.” Lanjutnya.

-- 1991, Goheung, Musim Panas –
Beom Sil POV
“liburan kali ini, San Dol tidak ikut ke sini?” tanyanya. San Dol, jangan dipikir ini nama asli, ini hanya sekadar nama julukan, larinya cepat maka ia diberi julukan seperti itu.
“dia itukan atlet marathon, katanya ada pelatihan khusus atau apalah itu.” Sahut Gil Ja menanggapi pertanyaannya.
Ku akui, San Dol memang sangat keren, mungkin dari kita berlima, San Dol yang memiliki banyak bakat. Apalagi sekarang, ia benar-benar sedang ada di zaman keemasannya. Sekarang pun, Gil Ja sedang dengan semangat bercerita betapa tampannya tampang San Dol.
“dia di sekolah dijuluki si gagu, didekati cewek-cewek juga cuek aja tuh!” kesal Gil Ja yang tiba-tiba mengomentariku. Gil Ja memang selalu begitu, ngomong tanpa berpikir memang kebiasaannya, yang terkadang membuat orang lain kesal dengan perkataannya, “atau jangan-jangan sudah ada cewek yang kau sembunyikan di suatu tempat?” Sangka Gil Ja telak sambil merebut tas yang ku bawa.
Kami sedang berjalan beriringan menyusuri pantai selepas dari dermaga tadi untuk masuk ke desa, dan Soo Ok ku gendong. Tidak, bukannya ia manja, aku yang menawarkan punggungku. Akibat kelainan pada kakinya sejak lahir, membuatnya pincang, ia jadi susah jalan, sebenarnya ia tidak suka menyusahkan orang lain, ia pikir itu pasti merepotkan. Tapi aku tak pernah merasa direpotkan.
“hei! kenapa kau sembarangan membongkar tas milik orang lain?!” kesalku.
“hadiah darimu yang jarang-jarang ini, sepertinya terlalu murahan deh!” Sahut Gil Ja sambil mengeluarkan sebuah benda persegi dengan kaset pita di dalamnya dari dalam tasku, yang memang ingin kuberikan sebagai hadiah untuk Soo Ok.
Gil Ja memberikan padanya, “wah! A-Ha!” serunya senang, “aku selalu menanti-nanti lagu mereka diputar oleh stasiun radio!” lanjutnya dengan semangat.
Ia sangat suka mendengarkan radio, hampir setiap hari ia selalu mendengarkannya, cita-citanya juga menjadi seorang penyiar radio! Terkadang ia akan duduk di depan meja belajarnya sambil menutup kedua telinganya dengan tangan lalu berbicara selayaknya sedang on air di stasiun radio. Jangan tanyakan bagaimana aku tahu, setiap liburan ke sini, sepanjang malam aku selalu berdiri di samping jendela kamarnya, mendengarkan ia menyetel radio dan berbicara sendiri. Sangat lucu dan mengagumkan bagiku.
Menurutnya musik itu sangat hebat. Musik tidak berkaki, tapi bisa terbang dari belahan bumi yang di sini ke belahan bumi yang di sana. Dapat disiarkan, dan terdengar hingga ke tempat yang sangat jauh. Mungkin ini juga menjadi salah satu alasan cita-citanya menjadi seorang penyiar radio, sehingga nanti, suaranya akan terdengar sampai ke sini, juga bisa terdengar sampai ke sana.
---
Pantai saat itu tampak tenang, kami kembali bermain, kali ini kami menangkap ayam dan merebusnya di pinggir pantai. Seperti biasa, Gil Ja dan Gae Deok yang repot menyiapkan semuanya, sedangkan aku duduk di tebing bersama Soo Ok.
Angin pantai mulai menerbangkan rambutnya, sepertinya ia terganggu. Ia mulai menguncirnya, jarang aku melihatnya di gerai. Aku memperhatikannya diam-diam, ku akui Jung Soo Ok sungguh mempesona, aku suka saat melihat tawanya yang lepas, terasa seperti tidak ada beban di pundaknya.
“bagaimana sekolahmu?” tanyanya membuka percakapan, mengejutkanku dari lamunan.
“yah, gitu- gitu saja.” Jawabku tak niat, aku memang sedang tidak niat membicarakan sekolah, aku takut menghilangkan senyumnya dan membuatnya sedih.
“sudah nonton film Terminator 2?” tanyanya lagi. “nonton ulasannya di televisi, boleh juga sepertinya.” Lanjutnya.
“belum nonton.” Jawabku tidak peduli, “cuman cerita seorang cyborg yang hidup kembali sesudah mati, tidak usah menghabiskan uang untuk nonton.” Lanjutku.
“katanya belum nonton, tapi kok sepertinya tahu banget?” godanya berusaha membuatku jujur sambil senyum-senyum, sepertinya ia tahu aku berbohong.
“bioskopnya ada di mana, pun aku gak tahu!” bohongku.
“oh ya! Anak kecil yang di film ‘Home Alone’ itu sungguh menggemaskan ya?” katanya tiba-tiba mengubah topik.
“menggemaskan bagaimana? Mempermainkan dua orang dewasa begitu.” Jawabku menanggapi pertanyaannya yang tiba-tiba.
“dasar! Masih berani bilang tidak tahu bioskop ada dimana?! Ngaku saja deh, kalau kamu sudah menontonnya!” kesalnya, “peduli amat dengan film, aku hanya ingin bisa mendengarkan musik keras-keras!” sambungnya lega.
Kami sama-sama terdiam, ombak bergelung menampar pasir di pesisir pantai, angin berhembus kencang. Ia tampak terpesona melihat pantai dan aku hanya tampak terpesona dengannya.
“kapan-kapan cari waktu ke Yeousu.” Kataku memecahkan keheningan, membuatnya menoleh ke arahku, “aku akan bawa kau ke sana.” Lanjutku.
“dengar kata-katamu saja sudah terasa manisnya.” Sahutnya sambil tersenyum, “tapi aku tidak bisa.” Katanya dengan seulas senyum.
“kenapa?”
“kelak aku baru ke sana. Kelak.” Yakinnya.
“kelak kapan?”
“saat aku sudah sanggup melakukan beberapa hal sendiri.” Ia kembali menoleh ke arahku, “pada saat itu aku baru ke sana.” Lanjutnya sambil tersenyum menatapku.
Aku terdiam memandanginya, “aku pasti akan membawamu ke sana.” Yakinku.
Ia hanya balas tersenyum.
---
“San Dol!” teriak Gil Ja kaget, “kapan kau datang?!” lanjutnya tak percaya.
“pagi tadi.” Jawabnya sambil terkekeh.
“kakimu kenapa?!”
Gil Ja dan Gae Dok langsung berlari ke arah San Dol melihat kakinya yang datang dengan gips di pergelangannya dan sambil membawa kruk.
“kenapa kakimu?! Patah?!” tanya Gae Dok histeris.
“tidak.” Jawab San Dol sambil terkekeh, “cuman keseleo saja, di gips supaya lebih cepat sembuh.” Sambungnya menenangkan kami.
Tapi kurasa Soo Ok tak tenang, ia terlihat jelas tampak khawatir, “sakit sekali ya?” tanyanya.
San Dol kembali terkekeh, memangnya ada yang lucu? “tidak! Sama sekali tidak!” jawabnya seakan itu bukan apa-apa.

-- 6 Agustus 2014,--
Ia termenung melihat buku yang baru saja diberikan penulis park, banyak tulisan Soo Ok di buku itu, seakan setiap hal yang di laluinya, tidak satu pun yang terlewat untuk di tulisnya.

On Air
Sekalipun sudah lama tidak bertemu,
Rasanya bagaikan semalam kita berkumpul.
Masa-masa bandel...
Musim panas itu, kami sungguh bahagia.
Mungkin, dikarenakan kita berkumpul bersama.

-- 1991, Goheung, Musim Panas –
Jung Soo Ok POV
Malam itu aku bersiap, menyematkan jepitan di rambutku dan berdandan dengan rapi lalu berjalan tertatih-tatih ke pesisir pantai. Di seberang sana sedang ada dokter magang yang sedang praktik ke desa-desa, aku sudah berjanji untuk melakukan foto dengannya, maka dari itu aku berpakaian sangat rapi malam ini. Aku mengayuh dayung dengan penuh semangat, tak sabar ingin segera sampai.
Aku melongokkan kepalaku melihat ke dalam, mencari seseorang yang memang sedang ku cari, tiba-tiba dari arah belakang seseorang meniup telingaku, aku menengok kaget, “apaan sih?! Bikin kaget saja.” Kagetku.
Dia tersenyum lebar, “hari ini kau cantik sekali.” Pujinya.
Aku tersipu malu, “kan mau foto-foto.” Jawabku sambil melihat tanah yang saat itu lebih menarik perhatianku.
Dia tertawa, “aku mandi dulu ya? Tidak apa-apa kan?” tanyanya meminta izin.
Ku lihat di bahunya memang sudah ada handuk yang bertengger, sepertinya aku datang di saat ia ingin mandi. Aku hanya mengangguk menanggapi, “masuklah!” ajaknya.
---
Beom Sil POV
Aku menunggunya di depan rumahnya, duduk bermain batu. Tiba-tiba suara yang kutunggu-tunggu memanggilku.
“Beom Sil!” panggil Soo Ok.
Aku menengok, “sedang apa kau?” tanyanya.
“malam-malam keluyuran kemana?” aku langsung melempar pertanyaan yang sejak tadi berkeliaran di otakku.
“bisa keluyuran ke mana memangnya? Seharian di rumah pengap banget, jadi aku keluar cari udara segar.” Jawabnya santai.
Aku berdiri lalu berjalan mendekatinya, melihat sesuatu yang mengganjal di mataku, “cari udara segar ya cari udara segar. Tapi kenapa dengan rambutmu?” tanyaku.
“asal-asalan saja kok!” jawabnya kelewat cepat sambil reflek memegang jepitan yang dipakai di rambutnya.
Ia berjalan tertatih masuk menuju rumah, “hei!” panggilku memberhentikan langkahnya.
Aku langsung membalikkan tubuhku lalu berjongkok di hadapannya, “mau ke mana?” tanyanya bingung.
“ayo cepat naik!” suruhku tak menanggapi pertanyaannya. Ia naik ke punggungku, aku tersenyum berlari membawanya pergi.
---
“Gae Deok! San Dol!” teriaknya saat melihat mereka di atas kapal. Kapal milik kakak Gae Deok, aku menyuruhnya untuk meminjam sebentar untuk membawa Soo Ok yang sangat ingin pergi ke Gae-do.
“jangan lari! Jangan lari! Nanti ada suara!” kata Gae Deok berbisik.
Aku memelankan langkahku lalu menurunkannya di atas kapal. Tak lama Gil Ja datang dengan heboh, Gae Deok mulai kelimpungan kembali menyuruh mereka semua untuk berbicara pelan-pelan. Soo Ok tampak tertawa melihat tingkah kekonyolan teman-temannya, tampak cantik bagiku.
“Soo Ok,” panggilku, “kita akan ke Gae-do” lanjutku.
“apa?! Serius?!” jawabnya kaget bercampur senang. Gae-do pulau yang sangat ingin ia datangi, di sana memang terkenal dengan mercusuar yang kalau kita berdoa di bawah sana, doa kita pasti akan terkabul. Soo Ok tampak sangat penasaran dengan mercusuar itu, maka dari itu aku memutuskan untuk membawanya ke sana.
“kau bukannya bilang ingin ke Gae-do? Aku minta tolong Gae Deok.” Kataku lagi. Soo Ok terlihat sangat senang dan terharu, ia mengucapkan nama kami dengan senang. Aku senang melihatnya bahagia.

Jung Soo Ok POV
Mercusuar itu sangat indah, kami duduk di bawahnya, menikmati angin yang berhembus menerbangkan rambut dan ketenanangan yang terasa. tercium aroma laut yang menyejukkan hati, aku tak menyangka, aku sampai di sini.
“tolong izinkan kami untuk bertemu kembali setelah kami beranjak dewasa!” teriak Gil Ja membuat permohonan.
“kita kan tidak akan berpergian jauh, kan?” ucap Beom Sil menanggapi permohonan Gil Ja, “tapi, umur berapa baru dibilang dewasa sih?” sambungnya.
“genap umur 20 sudah termasuk dewasa, sudah punya KTP.” San Dol menjawabnya.
“hanya karena punya KTP mana bisa di hitung dewasa.” Sanggah Gil Ja.
“40.” Kataku tiba-tiba, “umur 40 tahun saja! Saat itu kita akan bertemu lagi.” Lanjutku, “bergaul terus sampai saat itu tiba, baru kita bisa disebut teman sejati, bukankah begitu?” tanyaku kepada mereka semua meminta persetujuan. Mereka semua tersenyum, mengangguk setuju.
---
Ayahku seorang pemabuk. Memang. Sejak kematian ibuku, ayahku suka sekali dengan minuman seperti soju dan makgeoli. Aku tak mengerti kenapa, dan apa lebih tepatnya yang dipikirkannya. Yang kutahu, ia masih belum bisa menerima kematian ibuku dan melampiaskan kesedihannya ke minuman seperti itu.
“ayah! Sudah pulang?” kataku menyambutnya yang berjalan kelimpungan sambil memegang tas plastik di tangannya.
“kondisi kesehatanmu tidak bagus. Keluyuran ke mana saja?” tanyanya tak mengindahkan sambutanku.
“teman-temanku pulang, katanya sih liburan.” Jawabku bercerita.
Ku lihat ia mulai membongkar barang yang ada di tas plastiknya, seperti botol yang berisi makgeoli, “ayah pasti lapar, akan aku siapkan makanan.” Kataku sambil bersiap untuk pergi.
“aku sudah makan.” Jawabnya sambil menuangkan minuman makgeoli ke dalam sebuah mangkuk, membuatku berhenti diam.
Aku terdiam kembali, “ayah.. besok adalah hari peringatan wafatnya ibu..” kataku pelan-pelan. Tiba-tiba ia membanting mangkuk yang sempat ia angkat untuk diminum, “sudah kubilang ibumu belum meninggal! Di kampung ini orang yang paling mengenal air adalah ibumu! Tidak mungkin karena sedikit ombak dia meninggal!” bantahnya tak terima dengan pernyataanku.
Ya, ibuku menghilang saat pergi berlayar, sampai sekarang belum juga kembali. Aku dan penduduk desa lainnya menerimanya kalau ia sudah meninggal, sedih, sangat sedih, tapi aku yakin ibu bahagia di sana.
“kalau memang benar meninggal harus ada mayatnya dulu! Mayat saja tidak ada, mau mengumbar-ngumbar kalau orang sudah mati!” tambahnya sambil pergi meninggalkanku.
Aku hanya menghela nafasku, ayah masih saja belum bisa menerima kenyataan, pikirku.

22 Juli 1991
Cinta itu.. bagaikan marathon
Mungkin sekarang terasa sungguh melelahkan..
Tapi jika pantang menyerah,
Suatu saat akan kelihatan garis akhirnya.

- Jung Soo Ok


Beom Sil POV
Aku melihatnya. Gereja di desa ini sedang dipakai untuk praktik dokter magang, banyak penduduk menyambut dokter itu. Semua orang berbondong-bondong untuk memeriksakan kesehatan mereka, ku pikir ini baik juga.
Aku sedang diminta bantuan membawa bawang oleh kepala desa ke gereja itu untuk diberikan ke dokter itu, jam praktik memang telah usai, seharusnya sudah tidak ada orang di sana. Tapi aku melihatnya, Jung Soo Ok sedang duduk di atas meja membelakangiku dan di depannya dokter itu memajukan kepalanya, terlihat dekat.
Bunyi pintu terbuka membuat mereka yang di dalam kaget dan langsung memalingkan muka, Soo Ok pun turun dari atas meja, berdiri dengan tegak, “Soo Ok kenapa kau di sini mengganggu dokter?” kata kepala desa bertanya-tanya.
Aku menjatuhkan dengan keras bawang di pundakku ke lantai gereja hingga berbunyi keras, memperhatikan Soo Ok dan dokter itu dengan curiga, “ini kau bawa saja.” Kata kepala desa lagi, kali ini tertuju kepada dokter itu.
“terima kasih banyak.” Jawab dokter itu dengan hormat.
Soo Ok terlihat menundukkan kepalanya, seperti ketahuan melakukan sesuatu. Mungkin tampak canggung denganku? Aku hanya menatapnya tidak tahu harus berkata apa dan memikirkan apa.
“setelah dokter selesai tugas, kami harus bagaimana?” kata kepala desa ke dokter itu.
Anehnya Soo Ok tampak terkejut, “selesai tugas?” kagetnya menengok ke dokter itu.
“dia harus pulang ke Seoul, Menjadi dokter di rumah sakit besar.” Jawab kepala desa.
“jangan begitu pak, saya masih belajar kok. Lagipula masih ada belasan hari kok!” jawabnya sambil menengok ke Soo Ok, seperti menenangkan.
Ada apa sebenarnya di antara mereka? Aku merasa terbakar melihat mereka berdua. Kesal melihat Soo Ok tampak bergantung dengan dokter itu. Ia kelihatan sedih mendengar kabar ini, aku juga kesal melihatnya bersedih.
Aku menyusul Soo Ok yang berlari keluar, ia berhenti lalu berjongkok, terlihat punggungnya naik turun seperti menahan tangis. “Soo Ok, kau kenapa?” tanyaku sambil berjongkok di hadapannya.
“hari terlalu panas, sepertinya terkena sengatan panas. Tidak apa-apa.” Katanya sambil mengibas-ngibaskan bajunya.
“tapi barusan—“ kataku terpotong, “orang-orang sudah ke sana? Desa terasa sunyi.” potongnya mengalihkan perhatianku.
Hari ini memang sedang ada acara nyanyi dan pertunjukan di gedung olahraga sekolah TK, letaknya memang sedikit jauh dari pemukiman penduduk. Jadi jika semua orang ke sana, akan terasa sepi, “iya, rasanya di dunia ini hanya ada kita berdua.” Tanggapku.
“yang lain juga sudah ke sana?” tanyanya.
“mungkin tidak, Gil Ja harus menjaga adik-adiknya, Gae Deok sampai sekarang masih belum berani buka mulut, dan San Dol yang selalu—“ jawabku yang terpotong, tiba-tiba Soo Ok memegang rambutku, mengambil sesuatu, sepertinya kotoran, “mengurung diri di dalam kamar.“ lanjutku.
“aku juga,” katanya, “aku juga ingin ke sana.” Lanjutnya.
“kenapa kau ingin ke sana?”
“karena di antara hadiah-hadiah itu, ada sesuatu yang ku inginkan.”
“bagaimana caranya kau ke sana?”
Kami saling menatap, menyiratkan penuh arti.
“kau mau gendong aku?” tanyanya langsung.
“apa?! Bilang dong dari tadi! Kenapa baru ngomong sekarang?!” aku langsung berdiri bersiap.
“memang kenapa?” tanyanya bingung, “masalah kecil begitu kenapa jerit-jerit?!” sambungnya kesal.
“sini ku bopong kau.” Gesitku langsung berjongkok di depannya.
“sudah terlambat, perjalanan ke sekolah masih jauh.” Jawabnya sedih.
“gak akan terlambat kalau ku bopong.”
“sepertinya akan.” Jawabnya.

Jung Soo Ok POV
“Gae Deok! Gae Deok!” panggil Beom Sil dengan semangat sambil berlari didepanku.
Ku rasakan angin menerbangkan rambutku, ku berpegangan erat pada pinggir gerobak, takut terjatuh. Beom Sil sangat bersemangat menarik gerobaknya, berlari tanpa berhenti demi mengejar waktu, demiku.
“kenapa?! Ada apa?!” jawab Gae Deok ikut berlari menyusul Beom Sil.
“tidak ada waktu lagi! panggil yang lainnya untuk berkumpul di sekolah!” suruh Beom Sil masih tetap berlari lurus. Gae Deok berbelok lalu kembali berlari.
Di persimpangan sana, tiba-tiba mereka semua sudah ada di belakangku, ikut berlari, ikut mendorong gerobak yang ku naiki, membantu Beom Sil yang menarikku di depan sambil berlari tanpa berhenti. Aku senang, memiliki teman seperti mereka, tak peduli keringat menetes di dahi, di punggung, bahkan di seluruh tubuh mereka, mereka terus berlari.
Aku bernyanyi.
Kita semua berhasil sampai di sana sebelum acaranya berakhir, berkat bantuan mereka semua, aku tampil, aku bernyanyi dengan sepenuh hati. San Dol mematahkan gipsnya dan berlari mendahului kami, untuk mengulur waktu di acara sana sementara kami terus berlari tanpa berhenti. Mungkin, itu sebabnya juga kami tepat sampai di sana sebelum acaranya benar-benar berakhir.
---
“apa hebatnya sih foto?” kata Gil Ja yang sedang merapikan poninya sembari di tangannya terdapat kaca.
“tapi di sekitar kampung kita, tidak ada tempat cuci foto.” Sahut Gae Deok.
“itu... kita cuci saja ke tempat cuci foto yang ada di kabupaten.” Sela Beom Sil.
“aku mau bikin album pakai ini.” Sahutku, “jadi, nanti ketika kalian sudah masuk kuliah, aku akan menanti kepulangan kalian, sambil memandangi album foto ini.” Lanjutku sambil mengambil film dari kamera yang ku dapatkan dari lomba kemarin.
---
Beom Sil POV
Ku pandangi radio yang sudah ku siapkan, aku tersenyum lega. Aku menyiapkan sebuah studio-studioan di atas kapal di pesisir pantai lengkap dengan ornamen-ornamen lampu agar terang saat gelap nanti dan juga tulisan ‘On Air’ di atas kardus yang ku pajang di atas agar kelihatan. Aku tersenyum senang berhasil menyiapkan semua ini untuk Jung Soo Ok.
Aku melompat bahagia sambil berlarian kecil menyusuri jalan menuju ke rumahnya, saat itu aku berpapasan dengannya, ia menuju ke pesisir pantai, entah apa yang ingin di lakukannya atau ingin kemana.
“mau ke mana?” tanyaku memberhentikannya.
“ke balai kesehatan.” Jawabnya.
“ngapain?” tanyaku lagi.
“bisa apa lagi?” jawabnya heran.
Api amarahku mulai terasa, ku berbalik badan dan berjalan menuju pesisir pantai sana.
“kau mau ke mana?” tanyanya memberhentikan langkahku.
“ke balai kesehatan.” Jawabku membalikkan jawabannya.
“ngapain ke sana?”
“ke balai kesehatan bisa apa lagi?” jawabku lalu berlalu pergi.
---
“sekalipun dokter pergi ke tempat lain, operasiku akan berjalan dengan lancar,” ucapnya memulai, “sekalipun di Seoul juga bisa berjalan dengan baik, kan?” lanjutnya.
“Soo Ok, foto rontgen minggu lalu sudah keluar. Mari kita lihat bersama.” Sela dokter itu.
“potongan besar di sebelah sini,” kata dokter itu sambil menunjuk foto kaki Jung Soo Ok yang di tempel di jendela, “pergelangan kaki sebelah kanan dan sebelah kiri berbeda. Karena itu, jika di operasi, sebelah sini, dan sebelah sini..” lanjut dokter itu sambil terus menunjuk-nunjuk kaki Jung Soo Ok di foto hitam-putih itu, “setidaknya ada dua bagian yang harus di operasi.” Akhirnya.
Soo Ok hanya memandang semua foto hitam-putih kakinya itu, terlihat tidak mengerti, “apa yang ku ketahui? Aku hanya percaya padamu, Dokter.” Tanggapnya, “berkat dokter,” lanjutnya sambil menoleh kepada dokter itu, “anak kampung sepertiku baru tahu, jika rumah sakit bisa memberikan operasi secara gratis.” Ia menunduk, “aku yang ada di sini mana mungkin bisa tahu?” lanjutnya.
“ayo kita periksa kakinya.” Ucap dokter itu tiba-tiba.
“Soo Ok, kau tidak ingin melihat dunia luar?” tanya dokter itu membuka percakapan setelah terdiam cukup lama.
Soo Ok tersenyum, “tentu saja aku ingin. Tapi aku terus menahan diri.” Jawabnya.
“kenapa? Sekadar jalan-jalan naik kapal kan, juga bisa.”
“tempat yang terlalu jauh tidak sanggup aku pergi sendiri,” jawabnya sambil tersenyum, “jalan sedikit saja, kaki ini sakitnya seperti akan terbelah dua.” Lanjutnya bercerita.
“karena kaki yang sakit ini, kakimu yang tidak sakit itu pasti sangat bekerja keras.” Ucap dokter itu sambil terus merawat kakinya.
“karena kaki yang cacat ini, ayah dan teman-temanku sudah banyak menderita.” Ucapnya, “karena itu aku jarang makan. Dengan begitu saat ayah dan teman-teman menggendongku tidak akan merasa keberatan.” Sambungnya.
“jika aku ke Seoul, aku akan menghubungimu melalui kepala desa.” Ucap dokter itu, “jangan khawatir. Baik-baiklah di sini.” Lanjutnya mengakhiri percakapan.
Aku mendengar dan melihat semuanya dari luar ruangan, aku tidak percaya Soo Ok akan berjalan lagi, aku sungguh amat senang. Aku ikut bahagia, keinginan Soo Ok selama ini akan segera terwujud.
Aku menyusulnya yang sedang berjalan menuju perahu, ia tampak sangat amat bahagia dari belakang, membuatku juga ingin selalu tersenyum.
“mau ku gendong?” tawarku.
“tidak usah,” tolaknya, “Beom Sil, bersabarlah beberapa waktu lagi.” Ucapnya tiba-tiba, “berapa kali kau menggendongku, aku juga akan menggendongmu sebanyak itu.” Lanjutnya dengan tersenyum sangat lebar.
“baiklah.” Membuatku juga ingin tersenyum, “seperti itu saja.” Lanjutku.
“oh iya! Aku lupa mau ambil plester!” ingatnya sambil ingin berjalan berbalik.
“tidak, tunggu aku sebentar. Biar aku yang ambilkan.” Ucapku menahannya.
Aku berlari memasuki balai kesehatan dengan semangat, melihat dokter itu sedang memegang beberapa foto kaki hitam-putih Jung Soo Ok dan menempelkan telepon di telinganya, sepertinya sedang menelepon seseorang. Aku memutuskan untuk menunggunya selesai berbicara dengan seseorang di telepon, aku berdiri di sebelah pintu masuk ruangannya,
“barusan sudah datang.” Ucapnya sambil duduk lalu mengamati foto kaki hitam-putih Jung Soo Ok yang masih tertempel di jendela, “anak pincang itu tidak bisa di operasi lagi,” aku mematung mendengarkan, “kaki yang satunya lagi juga sudah mulai berubah bentuk. Sekalipun kakinya yang ini di operasi juga tidak akan memberi dampak apapun.” Katanya ke orang di seberang telepon sana entah siapa, “iya, aku juga baru pertama kali lihat. Makanya, kau bicaralah yang baik-baik tentangku di depan Profesor dan bilang aku bekerja dengan sangat serius di sini.” Aku kesal, aku sungguh kesal mendengarnya, sebisa mungkin ku tahan amarahku, “hei! Aku juga pingin ke Amerika!” katanya lagi hanya mementingkan dirinya sendiri.
Sudah cukup, aku benar-benar tidak bisa menahan amarahku kali ini, aku menggeser pintu geser ruangan itu dengan keras lalu masuk ke dalam, menatap dokter itu dengan diam, dokter itu menoleh menyadariku,
“nanti kau ku telepon lagi ya!” ucapnya ke seseorang di seberang telepon sana.
Aku melangkah ke dalam dengan kesal, mengambil kaleng tempat pulpen di atas meja lalu mengarahkan kepadanya dengan marah. Ia hanya terdiam melindungi kepalanya sementara kaleng itu berhenti di udara.
“kalau begitu, dia tidak bisa jalan lagi?” tanyaku.

Jung Soo Ok POV
Beom Sil terlihat aneh, ia terus mendayung perahu tanpa menengok ke arahku. Dengan muka diam tertekuk melihat ke depan, fokus akan kayuhannya. Aku menanyakan apa yang salah, tapi ia hanya diam saja. Aku menawarkan untuk berganti mendayung, mungkin dia lelah mendayung, tapi ia marah memarahiku dan berteriak kalau dia sangat menderita lalu menyuruhku untuk jangan berisik dan biarkan ini begini saja. Aku mengerti, mungkin dia sedang banyak pikiran, aku mencoba untuk menenangkannya selagi itu yang ku bisa. Aku menepuk-nepuk punggungnya, setidaknya dengan begitu dia merasa masih ada aku di belakangnya.

Beom Sil POV
Aku hanya diam di dalam kamarku, sedih mengetahui kenyataan Soo Ok tidak bisa di operasi. Dan betapa sedihnya lagi kalau nanti Soo Ok tahu kebenarannya. Aku dengar, Gil Ja dan yang lainnya sedang di luar rumahku bersama ibuku. Aku juga dengar ibuku sedang membahasku, menyangka aku sakit. Aku juga dengar mereka menyebut-nyebut dokter itu dan balai kesehatan. Seketika tubuhku bereaksi, saat aku juga mendengar mereka menyebut-nyebut Soo Ok dan berkata ia menjadi asisten dokter pembohong itu. Aku bergegas bangkit, tidak bisa ku biarkan dokter itu terus membohongi Soo Ok.
“Beom Sil! Kau tidak tidur?” tanya ibuku saat melihatku keluar dari rumah, “sudah mendingan?” tanyanya lagi yang ku acuhkan dan pergi begitu saja setelah memakai sepatu, aku benar-benar tidak bisa diam saja setelah tahu semuanya.
---
Aku melihatnya di balai kesehatan. Berdiri di belakang dokter itu, serta membantunya menyiapkan obat untuk orang yang berkonsultasi kepada dokter itu. Aku maju, duduk di depan dokter itu, menatapnya tak suka.
“sudah ku berikan obat. Jika setelah makan obat belum baikan, suntik saja ke balai kesehatan.” Ucapnya sinis begitu melihatku datang dan duduk tepat di depannya.
Soo Ok tersenyum melihatku dan memberikan obatnya ke tanganku. Aku melemparkan obatnya, aku muak dengan semua ini, benar-benar muak. Dengan kebohongan si dokter itu, kepolosan Soo Ok yang masih bisa tersenyum, aku muak, sungguh muak.
“aku tidak percaya pada kata-katamu. Bagaimana dong?” tanyaku menyindir dokter itu, “yang kau berikan padaku adalah obat yang bisa menyembuhkanku atau meracuniku? Orang bodoh sepertiku mana tahu.” sindirku lagi.
Soo Ok mendekatiku, “kau kenapa?” tanyanya.
Aku tak menghiraukannya, aku bangkit berdiri dan membanting kursi yang ku duduki, “hari itu kau memberiku obat dan bilang penyakitku akan sembuh jika ku makan. Tapi, apa yang terjadi? Aku malah lebih menderita di banding hari itu.” Kesalku.
“sedang apa kau di depan dokter?” Sanggah Soo Ok, “dokter yang menolong orang mana mungkin memberimu obat yang mematikan.” Ucapnya benar-benar tak tahu apa-apa.
“tutup mulutmu kalau tidak tahu!” sela ku padanya, “siapa bilang orang ini adalah dokter?” tanyaku sarkas padanya, “kau yakin kau dokter? Bukan penipu?!” lemparku pada dokter itu dengan amarah.
Tiba-tiba Soo Ok menamparku, tepat di pipiku, “kau siapa?” tanyanya, “kau sendiri sakit makan obat tidak kunjung sembuh, kenapa malah marah-marah ke dokter?! Kenapa membuat rusuh di sini!” lanjutnya.
Aku menatapnya, hanya menatapnya tidak percaya, menatap tepat di kedua matanya.
---
“hei Beom Sil!” panggil Gae Deok dan San Dol yang meraihku.
Aku hanya berteriak lepaskan dan kembali berjalan cepat.
“Beom Sil! Kau sedang marah?”
“sedang apa kau? Ada apa sih?” tanya San Dol.
Aku melihat mereka berdua, amarahku benar-benar ada di atas kepala, amarah dan kesedihan lebih tepatnya. Aku benar-benar tak terima, Soo Ok dibohongi, diberikan harapan yang benar-benar tidak nyata adanya.
“kalian ini bodoh! Kubilang kalian ini bodoh!” emosi ku, “baik itu kau ataupun aku.. semuanya bodoh!” lanjutku berlalu pergi meninggalkan mereka.

Jung Soo Ok POV
Aku tidak mengerti ada apa dengan Beom Sil, dia sungguh aneh. Menghina seorang dokter, apakah dia pikir itu tindakan terpuji? Tidak sama sekali! Aku hanya memarahinya agar ia sadar, tapi mengapa suasananya jadi sekacau ini? Gil Ja dan Gae Deok yang ada di sana, melihatku seperti tidak percaya aku menampar dan memarahi Beom Sil. Ya, aku menamparnya, itu kulakukan agar ia sadar, kalau perbuatannya sangat tidak terpuji, menghina dokter yang membantu pengobatan kampungnya sendiri bukanlah sesuatu hal yang harus diacungi jempol.
Aku menyusul mereka yang pergi lebih dulu membawa Beom Sil untuk menenangkan mereka, tapi yang ku lihat malah pertengkaran bukannya penenangan. Dari jauh, Gil Ja dan Gae Deok terlihat berargumen, tidak tahu apa yang mereka pertengkarkan, aku masih terlalu jauh untuk mendengarnya. Samar-samar semakin dekat aku mendengar namaku di sebut, “hei! Kenapa bisa gara-gara Soo Ok?!” aku mendengarnya, apa yang aku perbuat? “sekalipun Soo Ok ada salah, bukan berarti gara-gara dia persahabatan kita jadi rusak!”
“aku tidak pernah bilang Soo Ok merusak persahabatan kita, tapi menyakiti hati Beom Sil.”
“bukan seperti itu! Pasti ada alasannya kenapa Soo Ok menampar Beom Sil.”
“menurutmu, kenapa dia setiap hari ke balai pengobatan? Kenapa dia selalu lengket di sisi dokter itu? Kalau bukan karena dia suka dengan dokter itu!” sedih sekali aku mendengarnya, aku bukan orang seperti itu, “kau tidak lihat bagaimana dia menampar Beom Sil?! Tidak ada bedanya seperti istri dokter itu yang seharusnya dilakukan, bukankah sudah dia lakukan?!” aku benar-benar bukan orang seperti itu Gil Ja.
“apa yang seharusnya dilakukan? Apanya?” selaku di tengah pertengkaran mereka.
Gil Ja menengok ke arahku tampak terkejut, “hei, kau bertanya karena tidak tahu?” tanyanya padaku, “bukankah kau sendiri yang bilang? Dokter itu memakan coklat yang menempel di sisi mulutmu!” lanjutnya.
Aku benar-benar memercayaimu Gil Ja, dan lagi kaulah teman perempuanku satu-satunya, maka dari itu sesama perempuan aku menceritakan ini padamu. “itu... waktu itu..” Tapi tampaknya kau benar-benar tidak mengerti ya.
Gae Deok dan San Dol juga mulai menatapku tak enak, aku sedikit kecewa, sedikit. Aku berbalik pergi, “hei! Ini bukan gosip yang sembarang diucapkan. Semuanya sudah tahu!” Gil Ja mulai berbicara kembali, “kau setiap hari datang ke balai pengobatan, gosip sudah menyebar kemana-mana. Kau masih ingin Beom Sil dan teman-temanmu yang lain terus berdiam di sisimu?!” apakah itu yang kau pikirkan selama ini? “kau pikir semua orang adalah milikmu?!”
apakah seperti itu aku di mata kalian? Mataku mulai berkaca-kaca, aku berbalik melihat Gil Ja, “apa yang sedang kalian perdebatkan? Kalian sudah dengar gosip yang sedang diperbincangkan orang-orang?” aku menatap mereka satu-persatu mencari jawaban, tapi mereka semua hanya diam menunduk, “menurut kalian aku...” aku terdiam sebentar, tidak percaya atas semua pemikiran mereka, “..adalah perempuan seperti itu?” tanyaku pelan.
Aku berbalik kecewa, mulai berjalan tertatih-tatih meninggalkan mereka dengan air mata menetes di pipiku.

Hati yang telah rusak waktu itu,
Sudah bukan menjadi milik kita lagi.
Tiada terasa, aku pun mulai kehilangannya.
Tapi itu..
Bukanlah hati kami yang tulus.
Terhadap rasa bersalahku yang tidak karuan,
Terasa tidak tenang,
bagaikan orang yang tidak sanggup menepati janjinya.
Perasaan tertekan karena perasaan tidak berdaya.
Kekesalan karena tidak sanggup berterus terang.
Seperti itu..
Perasaan dalam lubuk hati yang tidak sanggup kuutarkan.
Perasaan yang paling tulus.

Aku memutuskan untuk berjalan tertatih-tatih ke tempat perkebunan Beom Sil, berharap bertemu dia, ada yang ingin aku bicarakan dengannya. Ku lihat punggung Beom Sil sedang memanen kentang di kebunnya, untung ada dia.
“tante, apa kabar?” sapaku pada ibu Beom Sil.
“Soo Ok, kenapa kau datang jauh-jauh ke sini?” tanya Ayah Beom Sil mengkhawatirkanku.
Ku lihat Beom Sil tetap tidak bergeming, memunggungiku sambil terus fokus memanen kentang.
“Beom Sil, antar Soo Ok pulang!” suruh ayahnya.
Ia bangkit, berbalik melihat diriku, berjalan mendekatiku, aku tersenyum melihatnya. Namun, ia hanya melewatiku begitu saja, terus berjalan tanpa menengok sedikit pun ke arahku. Aku melihatnya sedih, sebegitu marahkah ia padaku?
“kalau kau tidak mau antar bilang dong! Jangan diam saja, orang kan jadi salah tingkah begini.” Kesal ibunya melihat kelakuannya, “Soo Ok! Kejar dia! Pukul kepalanya! Hajar dia!” bilang ibunya padaku.
“tidak lah, aku tidak apa-apa. Aku bisa jalan sendiri kok.” Jawabku meyakinkannya lalu berjalan meninggalkan perkebunan itu menyusul Beom Sil.
“ada yang ingin kukatakan.” Ucapku memberhentikan langkah Beom Sil.
Ia menengok, melihat ke arahku.
“dokter itu.. bukanlah orang yang seperti itu.” Kataku menjelaskan, “aku juga tidak suka tipe orang seperti dokter itu. Sebenarnya, berkat dia, aku ada kesempatan untuk mendapat operasi di Seoul.” Jelasku mencoba menguraikan kesalah pahaman ini, “anak kampung sepertiku, dia juga bersedia bantu membayar operasi. Karena itu, aku membantunya semata-mata demi operasi dan juga aku sangat berterima kasih—“ penjelasanku tersela,
“operasi apanya?” tanyanya, “dokter itu.. dari awal tidak pernah ada niat memberimu operasi.” Lanjutnya membuatku terkejut.
Apa maksudnya dengan semua ini, aku benar-benar tak mengerti, “bukankah kau bilang kakimu yang tidak sakit itu sudah mulai terasa sakit?” tanyanya seakan mengerti, “dengan begitu, kakimu yang tidak sakit itu nanti juga akan menjadi cacat.” Lanjutnya telak mengenai hatiku.
---
Aku ingin menemuinya.
Aku terburu-buru ingin ke balai kesehatan, aku berenang dengan sangat cepat tanpa berhenti menuju ke sana. Teriakan Beom Sil memanggil namaku tidak kuhiraukan, yang ada di pikiranku hanyalah, aku harus segera bertemu dengan dokter itu, menanyakan kebenarannya, apakah aku bisa di operasi atau tidak.
Aku masuk dengan tergesa ke dalam balai kesehatan, dengan basah kuyup tapi aku tak peduli, yang aku pedulikan hanya jawaban dan kebenaran yang ada.
“dokter.. sebenarnya aku bisa berjalan atau tidak?” tanyaku langsung, Dokter itu tampak kaget, “jangan bicarakan hal yang lain. Beritahu aku! Bisakah kau membuatku berjalan?!” lanjutku meminta penjelasan.
Tanpa sadar air mataku menetes, “itu.. sekalipun setelah di operasi juga tidak ada jaminan.” Jawabnya sambil menunduk mengalihkan tatapannya dari mataku, “sekalipun kaki kiri di operasi, kaki yang sebelah kanan sudah mulai berubah bentuk.” Jelasnya membuat air mataku yang berusaha ku tahan sudah tak mampu lagi ku tahan, “lagipula, ayahmu harus memberi persetujuan operasi baru bisa dijalankan. Ayahmu tidak memberi persetujuan itu.” Ku hapus air mataku yang jatuh ke pipiku, “karena itu.. sepertinya agak susah—“
“kalau begitu.. jika ayah memberi persetujuan, aku akan bisa jalan?” selaku masih belum bisa menerima ini semua.
“masalahnya bukan di ayah—“
“aku tinggal minta persetujuan saja, kan?” potongku lalu pergi berbalik meninggalkan balai kesehatan itu.

Beom Sil POV
Aku memanggilnya berulang kali dengan keras, tapi seakan tuli, Soo Ok terus berjalan ke dalam laut untuk kembali berenang menyebrangi laut itu. Aku mengejarnya, aku tahu ia ingin cepat bertemu dengan ayahnya dan meminta persetujuan, ia masih memegang harapan atas persetujuan itu, yang sesungguhnya adanya persetujuan itu atau tidak, operasi itu tidaka akan merubah apapun. Aku tahu, Soo Ok tahu, tapi ia hanya belum menerima untuk sementara ini.
Aku memegangnya dan menggendongnya untuk ku dudukkan di atas perahu yang ku bawa ke sini tadi. Dia terus berkata ‘aku harus mendapatkan persetujuan ayah’ seberapa keras aku menahannya ia terus berkata ‘aku harus ke sana secepatnya’.
“aku akan mengantarmu.” Ucapku membuatnya diam, “aku akan mengantarmu ke sana!” tegasku lagi.
Petir bersahutan, langit mendung seketika, seakan mewakili perasaannya saat ini, sedih, kacau, amarah, tak karuan menjadi satu. Saat kami sampai di pesisir pantai, hujan datang mengguyur kami berdua. Aku terburu-buru mengikat perahu dan memberikan punggungku ke arahnya menyuruhnya naik. Namun, dia tak kunjung naik, takut ia kehujanan, aku berlari mengambil payung terlebih dahulu, lalu kembali lagi membuka payung untuknya dan memberikannya ke tangannya untuk dipegang.
“ayo.” Ajakku sambil memberikan punggungku kembali.
“Beom Sil.. aku ingin bisa berjalan.” Katanya tiba-tiba.
“kau mau jalan ke mana? Aku akan menggendongmu seumur hidupku.” Aku berbalik memandangnya dengan serius.
“sekarang ini karena kau adalah teman baikku, makanya kau sudi bersama denganku.” Ucapnya, “nanti, setelah masuk kuliah dan bertemu dengan gadis-gadis cantik, kau akan melupakanku.” Lanjutnya.
Aku mengernyitkan dahiku, “bicara apa sih kau?! Mana mungkin aku—“ omonganku terputus olehnya.
“sekalipun kau tidak punya pikiran seperti itu, hatiku.. sakit sekali begitu memikirkannya.” Potongnya memotong ucapanku, “aku yang seperti ini.. aku..” ucapnya sambil menunduk sedih.
Aku menarik tangannya yang sedang memegang payung, mengagetkannya, ia mengangkat wajahnya, melihat kedua mataku, semoga dia menemukan kesungguhan di mataku. Ku berikan payung itu lagi ke arahnya, sambil terus menatapnya ku tarik ujung payung itu menutupi pandanganku untuk melihatnya, ku tutup mataku dan mencium payung itu tepat di bibir Soo Ok menurut pandanganku dari payung itu. Aku melakukannya, untuk menunjukkan betapa seriusnya aku saat aku menawarkannya untuk menggendongnya kemanapun ia pergi.
“aku akan berada di sisimu dan melindungimu seumur hidupku.” Janjiku.

Jung Soo Ok POV
Di pekarangan rumahku, di tengah hujan aku berdiri meminta ayah untuk menyetujui operasi itu, tapi Ayah hanya bersikap tak peduli. Katanya ini bukan penyakit yang mematikan yang memerlukan operasi, dan kakiku masih terlihat baik-baik saja untuk dilakukannya sebuah operasi.
“memang apa yang bisa terjadi?!” kesalku, “sekalipun operasinya gagal, terus kenapa?! Lebih mending daripada harus hidup pincang. Masih bisakah aku disebut manusia? Ke mana pun aku ingin pergi, aku tidak sanggup sendiri, aku hanya bisa menjadi beban bagi orang lain!” air mataku terus mengalir seperti hujan yang juga mengalir mengenai atas kepalaku hingga turun ke bawah kakiku, “daripada hidup seperti ini, lebih baik aku mati saja!”
Ayah mulai bangkit saat mendengar perkataan terakhirku, ia menamparku, “bilang apa kau?! Barusan kau bilang apa?!” amarahnya membuatnya main tangan, “benar kata orang-orang di kampung ini, ada sesuatu antara kau dan dokter itu!” tuduhnya tak beralasan.
Aku melihatnya tak percaya, aku masih bisa terima saat ia menamparku, tapi ini, ia menuduhku, seakan ia tidak mengenalku, mempercayai gosip yang tidak beralasan itu. Sama saja seperti yang lainnya, mengaku dekat tapi nyatanya tidak, seperti tidak mengenalku saja. Entah mereka semua memang benar, mengaku dekat tapi ternyata tidak, atau apakah kelihatannya aku memang perempuan seperti itu?
“dari kecil kau sudah hidup seperti ini, tidak ada bedanya di operasi atau tidak. Dokter itu hanya akan berada di sini sampai dia selesai tugas, dia tidak akan membawamu pergi. Tidak akan!” ucap ayah final, “bukan begitu—“ omonganku terpotong, “jika kondisimu terbatas, diam saja di rumah. Jangan suka keluyuran ke mana-mana.” Telaknya menusuk hatiku.
Lalu ayah pergi meninggalkanku begitu saja, seakan tak peduli denganku.
---
“ibu..” panggilku ke lautan luas sana.
Ombak bergelung dengan sangat ganas menabrak tebing karang yang sedang kupijak ini, sejauh mataku memandang hanya gelap yang ku dapati. Hujan masih terus mengguyur bumi ini seakan mewakili perasaanku.
“aku... ingin sekali bisa berjalan.” Pintaku untuk yang terakhir kalinya pada ibu, alam yang mendengar dan Tuhan.

Beom Sil POV
Aku punya hadiah untuknya. Untuk menghiburnya, kemarin ia habis bersedih, pasti sangat senang melihat hadiah dariku. Aku memanggilnya, tapi ia tak kunjung keluar dari kamarnya, ku ketuk pintu kamarnya yang ternyata tidak terkunci menandakan ia sudah tidak di dalam kamarnya.
Aku berjalan di sekitaran desa ini, berfikir sudah pergi kemana Soo Ok sepagi ini. Sambil melatih memberikan hadiahku padanya, ingat tempat studio siaran yang ku buat dengan lampu-lampu sebagai ornamennya di atas kapal di pesisir pantai sana? Ya, itu hadiahku untuknya, ia pasti akan sangat senang. Cita-citanya menjadi seorang penyiar radio, membuatkan studio pura-pura untuknya sebelum cita-citanya tercapai sudah cukup membahagiakannya, kan? Setidaknya ia bisa melupakan sebentar masalah operasinya. Aku berjalan dan berjalan sambil terus berfikir, semakin difikirkan semakin aneh, kemana Soo Ok sepagi ini?
Soo Ok menghilang. Itu yang ku tahu dan ku sadari, aku mencarinya ke seluruh bagian desa ini, ayahnya dan teman-teman juga ikut mencari. Aku berlari dari satu tempat ke tempat yang lain, mencari ke tempat yang memang sering di datangi Soo Ok, tapi Soo Ok tidak ditemukan di mana pun.
Banyak orang di tebing karang pesisir pantai, di sana juga ada ayahnya Soo Ok. Para penyelam sedang menyelam di tengah lautan sana. Bisikan-bisikan orang itu juga terdengar sampai di telingaku, seperti ‘tidak akan ketemu’ ‘malam hari air pasangnya sungguh menakutkan’ tidak jelas mereka berbicara apa. Aku pergi ke hadapan ayah Soo Ok, menyadarkannya mengapa ia ke sini, dan mengapa ia harus mencari Soo Ok yang dalam keadaan sehat ke dalam laut seperti itu. Menghabiskan waktu, Soo Ok tak akan ada di sini, seharusnya ia memakai waktunya untuk mencari Soo Ok ke tempat yang mempunyai kemungkinan-kemungkinan besar.
Bunyi peluit terdengar, yang merupakan dalam sebuah operasi TIM SAR mencari korban, adalah tanda emergensi dan harus segera direspons, dan juga menunjukkan adanya korban yang ditemukan, dan saat itu bunyi peluit itu terdengar, tiga kali dan memekakan telinga, membuat diriku membeku seketika. Aku berbalik melihat anggota tim SAR itu sendiri yang sedang berada di tengah lautan sambil melambai-lambaikan tangannya, seakan menandakan ‘aku menemukannnya tepat di sini, tapi ada sesuatu terjadi’.
“sudah cukup lama kita berputar-putar di laut yang luas ini, ketemu sih sudah, tapi sama sekali tidak bisa bergerak.” Jelas tim SAR itu pada para penduduk.
“mungkin ia sedang menunggu seseorang?” ceplos salah satu penduduk desa yang tak sengaja ku dengar.
“aku sudah mengikatnya dengan tali, tapi karena terlalu berat, belum terangkat.” Jawab tim SAR itu.
Aku hanya melihat ke lautan luas, masih tak mengerti dan tak percaya. Aku berjalan menuju laut ingin menyelamatkan Soo Ok.
“Beom Sil! Beom Sil kau mau ke mana?!” tanya ibu memberhentikanku.
“ibu, aku harus ke sana. Soo Ok sedang menungguku.” Jawabku.
Aku menyelam ke dasar lautan, menemukan Soo Ok di tengah heningnya air di bawah sini, kamu pasti kedinginan dan kesepian kan Soo Ok? Maka dari itu kau menungguku? Aku memeluknya dengan sangat erat, memberitahunya kalau aku sudah di sini bersamanya, maka ia tak perlu takut dan terus menungguku lagi, ‘Soo Ok, aku sudah datang. Sekarang, ayo kita pergi’.
---
Kami semua terpukul, aku, Gil Ja, Gae Deok, San Dol, sungguh terpukul. Menyalahkan diri sendiri, dan mulai menyesal. Tidak menyangka Soo Ok yang ceria berakhir seperti ini, kehilangan sahabat kami, merupakan hal yang tidak pernah dibayangkan oleh kami. Bukan hanya kehilangan sebulan, setahun atau beberapa tahun, tapi untuk selamanya.
Kami mengadakan pemakaman yang layak untuknya, untuk sahabat kami. Kami tidak akan pernah melupakanmu Soo Ok. Kenanganmu akan selalu ada di ingatan kami.
“aku tidak mengantar kepergian isteriku.” Ucap ayah Soo Ok, “sekarang, dia dan Soo Ok pergi bersama sambil bergandengan tangan. Sekarang saatnya aku mengantar kepergian mereka.” Lanjutnya.
Semua tampak bersalah atas kejadian yang menimpa Soo Ok, yang pasti ku tahu, Soo Ok akan benar bisa berjalan di Surga sana, tanpa harus bersusah payah dibohongi, dan di salah pahami perbuatan yang dilakukannya.

-- 6 Agustus 2014,--
Lampu merah di persimpangan itu menyala sangat terang, mobil berbaris rapi tak bergerak sama sekali, sepertinya sudah tidak ada waktu, pikirnya. Ia harus berlari untuk mengejar waktu, takut tidak tersampaikan sepenuhnya, ada beberapa yang tertinggal. Pria itu keluar dari taksi dan berlari sekuat tenaga, seperti dulu saat memotong jalan menuju lapangan sekolah TK, demi mengulur waktu agar acaranya tak cepat berakhir. Hari ini ia melakukannya lagi, berlari sekuat tenaga, demi mengejar waktu agar acaranya tak berakhir sebelum semuanya tersampaikan.
Ia berlari menuju stasiun radio, sambil membawa sebuah benda persegi panjang yang di dalamnya terdapat gulungan pita. Milik seseorang yang dulu ia kenal dan semua orang kenal, yang sekarang sedang kami kenang.
“lagu terakhir, sepertinya masih sempat diputar, jadi ku bawa ke sini.” Kata pria itu sambil menyerahkan benda itu kepada penulis Park.
Penulis Park mengambilnya, lalu melihat melalui jendela kaca di ruangan itu, seorang pria penyiar radio yang duduk di seberang ruangan sana.

Beom Sil POV
‘Ceklek’ bunyi pintu penghubung antara tempat siaranku dan tempat pengatur di depan, yang hanya dibatasi oleh sebatas kaca jendela terbuka. San Dol berdiri di sana, melambaikan tangannya sekali sambil tersenyum, “ini khusus dibuatkan oleh Soo Ok untukmu.” Katanya sambil menyerahkan benda berbentuk persegi panjang yang didalamnya terdapat gulungan pita. Aku mengambilnya dan melihatnya, di situ tertulis ‘To. Love’.
Aku memasukkannya ke dalam alat pemutar kaset, lalu kunyalakan, suara lembut Jung Soo Ok mulai terdengar indah mengalun, ia bernyanyi sangat indah. Tak kuasa ku menahan air mataku yang menetes.

On Air
~ the water is wide, I can’t cross over. ~
~ and neither have I wings to fly. ~
~ give me a boat that can carry two. ~
~ and both shall row, my love and I. ~

--

Air mata menetes di setiap kami, ini suara seseorang yang kami kenang. Seseorang yang sungguh berarti bagi kami semua.

--

On Air
Di hari yang paling menyedihkan itu..
Juga hari di mana hujan turun dengan derasnya.
Karena itulah, seperti gila rasanya aku merindukan hari itu.
Bagi kita semua,
Bukankah hari ini adalah hari yang seperti itu?
Jauh lebih indah dibandingkan esok, jauh lebih muda.
Karena itu, dibandingkan esok..
Kita yang lebih berani hari ini.
Kata-kata yang belum sempat diucapkan,
Cobalah untuk mengucapkannya, bagaimana?
Aku juga mengatakannya setelah mengumpulkan keberanianku.
Perasaan itu..
Rasa rindu itu..
Untuk teman-temanku yang ku rindu..
Untuk dirimu yang selalu ku rindukan..
Gil Ja, Gae Deok, San Dol, Beom Sil.
Sampai bertemu besok!


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Takoyaki dan Okonomiyaki, Hidangan Kembar dari Jepang

Sering mengikuti tren? Apalagi tren tentang makanan? Kalau gitu, pasti tahu takoyaki dan okonomiyaki. Hidangan khas dari Jepang yang terbuat dari adonan tepung dan tambahan daging lain seperti macam-macam seafood . Tapi, kalian penyuka hidangan ini tahu gak perbedaan dari takoyaki dan okonomiyaki? Sekilas memang mirip sih, dari segi bahan untuk membuatnya, namun bentuk dan asal-usul hidangan ini berbeda, lho! Daripada nanti salah sebut, mending disimak penjelasan tentang kedua hidangan ini terlebih dahulu.   Takoyaki adalah hidangan Jepang yang berasal dari Osaka. Terbuat dari adonan tepung yang ditambahi potongan Gurita, lalu dibuat menjadi bola berdiameter 3-5 cm. Selain gurita yang menjadi tambahan adonan ini, ada berbagai isi lainnya, seperti, bawang, dan jahe merah. Takoyaki sendiri memiliki ciri bagian permukaan luarnya tipis dan terpanggang agak keras. Sedangkan bagian dalamnya tebal dan lembut. Penyajiannya kebanyakan ditaburi dengan rumput laut dan ikan bonito kering d

Gurita Pedas Ala Korea, Nakji Bokkeum

  Sebagian kuliner Korea Selatan memiliki identik dengan pedasnya. Bahkan Negeri Ginseng ini memiliki saus pasta cabai ala mereka sendiri untuk tiap masakan pedasnya. Tidak terkecuali hidangan laut khas negeri mereka yang akan dibahas di sini. Hidangan ini cukup populer karena rasanya yang cukup memanjakan lidah para pencicipnya. Memiliki nama menu korea, nakji bokkeum yang diartikan menjadi spicy stir-fried octopus ini, menggunakan gurita sebagai bahan utama masakan. Gurita yang digoreng kering dan dipadukan dengan tumis sayuran serta saus pasta cabai ala Korea, Gochujang, menjadi ‘laporan observasi’ yang paling tepat saat melihat tampilan hidangan ini. Pada tahun 1965, merupakan awal mula hidangan ini muncul di mana gurita dikonsumsi secara mentah, dikeringkan ataupun digoreng. Nakji bokkeum diperkenalkan oleh Park Mu Sun di sebuah kedai di Perusahaan Asuransi Ekspor Korea di Seorin-dong. Kemudian hidangan ini diadopsi oleh restoran karena kelezatannya yang menarik banyak minat

Bahayakah Seafood Untuk Ibu Hamil?

  Kita semua tahu, seafood merupakan makanan yang memiliki banyak sekali kandungan. Baik itu kandungan bergizi maupun kandungan penyakit, kolesterol misalnya. Hal ini membuat seseorang akan berpikir dua kali jika ingin memakannya. Lalu apa hubungannya dengan ibu hamil? Kondisi hamil merupakan kondisi rentan, dimana saat seorang wanita memiliki banyak pantangan. Baik itu hal kecil yang akan dilakukan hingga makanan yang akan dimakan. Di Indonesia yang memiliki macam suku dan bangsa membuat terciptanya keyakinan-keyakinan yang dipercaya turun-temurun dari nenek moyang. Seperti misalnya ikan, ibu hamil dipercaya tidak diperbolehkan untuk memakan olahan hewan dari laut ini. Karena berdampak kepada anaknya nanti akan berbau amis. Namun, secara ilmiah, justru ikan diperlukan saat hamil. Protein yang terkandung di dalamnya sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janinnya. Walaupun beberapa jenis ikan harus dibatasi dalam mengkonsumsinya. Keutamaan seafood untuk ibu hamil te